BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Mekanisme Perubahan Konstitusi (Amandemen)

Mekanisme Perubahan Konstitusi (Amandemen)
Setelah melalui perjuangan yang panjang akhirnya Indonesia dapat meraih kemerdekaannya. Seiring dengan perkembangannya bangsa Indonesia semakin gencar dalam mengukuhkan soal birokrasi dan tentang konstitusi. Betapapun sempurnanya sebuah konstitusi, pada suatu saat tertentu konstitusi tersebut bisa ketinggalan zaman atau tidak lagi sesuai dengan dinamika dan perkembangan masyarakat. Karena itulah kita memerlukan adanya perubahan konstitusi dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi yang dilaksanakan menurut pembatasan-pembatasan tertentu. Perubahan ini terjadi melalui 3 (tiga) macam kemungkinan, yakni sebagai berikut :
  1. Pertama, untuk mengubah konstitusi, sidang pemegang kekuasaan legislatif harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya sejumlah anggota tertentu (quorum) yang ditentukan secara pasti;
  2. Kedua, untuk mengubah konstitusi maka lembaga perwakilan rakyat harus dibubarkan terlebih dahulu dan kemudian diselenggarakan pemilihan umum. Lembaga perwakilan rakyat harus diperbaharui inilah yang kemudian melaksanakan wewenangnya untuk mengubah konstitusi; dan
  3. Ketiga, adalah cara yang terjadi dan berlaku dalam sistem majelis dua kamar, hal mana untuk mengubah konstitusi, kedua kamar lembaga perwakilan rakyat harus mengadakan sidang gabungan. Sidang gabungan inilah, dengan syarat-syarat seperti dalam cara pertama yang berwenang mengubah konstitusi.
Penting bahwa perubahan itu didasarkan pada kepentingan negara dan bangsa dalam arti yang sebenarnya dan bukan hanya karena kepentingan politik sesaat dari golongan atau kelompok tertentu. Pendapat para tokoh mengenai tata cara perubahan konstitusi adalah sebagai berikut :

F. C. Strong
Menurut F. C. Strong perubahan konstitusi dapat digolongkan 4 (empat) macam, yaitu sebagai berikut :
  1. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif menurut pembatasan-pembatasan tertentu;
  2. Perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum;
  3. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh sejumlah negara bagian (ini berlaku di negara serikat);
  4. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh suatu lembaga negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan (konstituante).
K. C. Wheare
Menurut K. C. Wheare, perubahan konstitusi dapat terjadi dengan berbagai cara, yaitu :
  1. Perubahan Resmi;
  2. Perubahan Hakim; dan
  3. Kebiasaan ketatanegaraan atau konferensi.
Hans Kelsen
Hans Kelsen mengatakan bahwa kosntitusi asli dari suatu negara adalah karya pendiri negara tersebut dan ada beberapa cara perubahan konstitusi menurut Kelsen, yaitu : 
  1. Perubahan yang dilakukan diluar kompetensi organ legislatif biasa yang dilembagakan oleh konstitusi tersebut dan dilimpahkan kepada sebuah konstituante, yaitu suatu organ khusus yang hanya kompeten untuk mengadakan perubahan-perubahan konstitusi; dan
  2. Dalam sebuah negara federal, suatu perubahan konstitusi bisa jadi harus disetujui oleh dewan perwakilan rakyat dari sejumlah negara anggota tertentu.
Tidak hanya berdasarkan pendapat tokoh di atas, akan tetapi perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah dimuat dan diatur dalam Pasal 37 yang mencakup 2 (dua) hal, yaitu :
  1. Perubahan berdasarkan atas Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum perubahan; dan
  2. Perubahan berdasar atas Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah 4 (empat) kali perubahan.
Perubahan berdasar atas Pasal 37  UUD 1945 sebelum perubahan
Berdasarkan ketentuan Pasal 37 di atas, ada 3 (tiga) norma hukum yang terdapat di dalamnya, yaitu : 
  1. Pihak yang berwenang mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia;
  2. Untuk mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari seluruh anggotanya (quorum);
  3. Keputusan tentang perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sah, apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia yang hadir dan memenuhi quorum
Norma di atas pada butir (2) dan (3) itulah yang dimaksud dengan prosedur. Jikalau dilihat dari sisi persyaratan quorum, sidang harus dihadiri oleh 2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah anggota majelis, maka cara perubahan demikian dapat dikatakan tergolong sulit (rigid) karena kurang dari satu anggota saja yang tidak hadir, quorum dinyatakan tidak sah. 

Perubahan berdasar atas Pasal 37  UUD 1945 setelah 4 (empat) kali perubahan
Perubahan berdasar atas Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah perubahan, yakni :  
  1. Ketentuan pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah perubahan menjelaskan bahwa usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 (sepertiga) dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia.
  2. Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
  3. Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia.
  4. Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia.
  5. Pasal 37 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah perubahan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, akan tetapi sebagai joint session, yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia yang dipilih melalui pemilihan umum (pemilu). 

Untuk mencapai quorum berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah perubahan, dihitung berdasarkan jumlah seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia, yakni 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia.

Memasuki era reformasi muncul arus pemikiran tentang keberadaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang sangat berbeda dengan pemikiran sebelumnya, terdapat beberapa pernyataan yang mendukung arus pemikiran tersebut yakni : 

Bahwa UUD 1945 mengandung rumusan pasal yang menimbulkan penafsiran ganda
Pemerintah telah mengupayakan tentang adanya perubahan konstitusi atau amandemen sehingga melahirkan rumusan baru yang lebih jelas dan eksplisit, misalnya tentang masalah masa jabatan presiden, sebelumnya dikatakan bahwa "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali". Dalam ketentuan ini tidak dijelaskan Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali untuk berapa kali masa jabatan, itu dapat menimbulkan penafsiran apabila kandidat yang bersangkutan dapat mengikuti pemilihan umum untuk terus menerus. Tetapi setelah diamandemen disimpulkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat dipilih dengan 2 x (dua kali) masa jabatan.

Bahwa UUD 1945 membawa sifat executive heavy
Terkait dengan executive heavy (adanya pemerintahan eksekutive yang menonjol) diadakannya amandemen pertama pada Pasal 5 (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 (2) (3), Pasal 20, Pasal 21, yang pada intinya mengatur tentang pembatasan jabatan presiden, mengubah kewenangan legislatif yang semula berada di tangan presiden menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Bebrapa kewenangan yang dulu hanya dapat dilakukan oleh presiden yang setelah diamandemen harus memerhatikan pertimbangan dari lembaga lain yaitu seperti ; pengangkatan duta dan konsul harus dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memberi grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) dan sebagainya. Hal itu merupakan pengurangan wewenang terhadap Presiden.

Adanya sistem pemerintahan Quast Presidensiil
Sistem pemerintahan Quast Presidensiil yaitu sistem pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang tidak tegas di antara sistem pemerintahan Presidensiil dan sistem pemerintahan Parlementer. Terkait dengan hal tersebut pada sistem presidinsiil diadakan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang melahirkan ketentuan bahwa presiden dipilih langsung oleh rakyat (vide : Pasal 6A (1)). 

Dengan pemilihan langsung oleh rakyat maka presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hanya dapat menghentikan presiden dalam pertengahan masa jabatannya apabila telah melanggar hukum yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pelanggaran yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut merupakan indikasi dari sistem pemerintahan Presidensiil.

Perlunya memberikan kekuasaan yang luas kepada pemerintahan daerah
Kekuasaan yang dimaksud adalah untuk mengatur daerahnya sendiri, agar daerah dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki, maka dilakukanlah amandemen terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dengan menambah beberapa ayat serta menambah Pasal 18A dan Pasal 18B. Dengan amandemen tersebut pemerintah daerah dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.

Rumusan pasal tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dirasa sudah tidak memadai lagi
Rumusan pasal tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dirasa sudah tidak memadai lagi untuk mewadahi tuntutan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan warga seiring dengan perkembangan global. Terkait dengan masalah Hak Asasi Manusia sangat jelas bahwa amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah banyak menambah rumusan-rumusan baru tentang Hak Asasi Manusia dan warga-warga negara dalam Pasal 28A sampai dengan pasal 28J.  

Tentang perubahan dan prosedur perubahannya, amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menggunakan landasan sistem prosedur yang telah ditentukan dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam peranannya, konstitusi ini disusun sebagai pedoman dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara agar negara berjalan tertib, teratur dan tidak terjadi tindakan sewenang-wenang dari pemerintah terhadap rakyatnya. 

Demikian penjelasan singkat mengenai Mekanisme Perubahan Konstitusi (Amandemen) yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: