BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Sejarah Hukum Internasional

Sejarah Hukum Internasional
Gejala adanya hubungan internasional yang diatur oleh Hukum Internasional telah mulai sejak 4000 tahun sebelum masehi (SM). Kira-kira 3000 SM sebuah perjanjian yang dibuat antara Ennatum, Raja Lagosh di Mesopotamia yang menang perang dengan sebuah negara kota lainnya di Mesopotamia, yaitu UMMA. 

Meskipun pengertian negara bagi kedua belah pihak tersebut masih sangat primitif, namun antara kedua pihak tersebut terlibat dalam peperangan dan waktu mengakhiri peperangan tersebut keduanya mengadakan perjanjian perdamaian. Dalam perjanjian tersebut telah disetujui adanya tapal batas yang diakui oleh kedua belah pihak.

Pada perkembangan selanjutnya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat lebih dari seribu tahun kemudian yang dibuat oleh Ramses II dari Mesir dan Raja Hittites untuk perdamaian dan persahabatan. Perjanjian lain yang dibuat di Kadesh sebelah utara Damaskus di mana telah diakui adanya penghormatan untuk :
  1. Integritas wilayah;
  2. Menghentikan agresi; dan 
  3. Membuat aliansi pertahanan.
Jadi Hukum Internasional telah berkembang beberapa ribu tahun sebelum masehi, tetapi sebagai ilmu pengetahuan mulai dipelajari baru pada abad ke-14 dan ke-15. Penulis terkenal pada saat itu antara lain Fransisco de Victoria (1526-1546) bukunya "relectiones theologicae" . Pandangannya menandakan adanya langkah yang penting dalam ekspansi Hukum Internasional ke sistem yang mendunia. Ini berarti hukum yang semula hanya berlaku bagi negara-negara Eropa yang bersifat kristen tidak hanya terbatas berlaku bagi hubungan mereka tetapi telah berlaku secara universal yang didasarkan pada hukum alam dan diterapkan sederajat bagi semua orang di mana saja mereka berada.

Sarjana lain yang terkenal adalah Fransisco Suarez (1548-1617). Ajaran Suarez berkebangsaan Spanyol dari aliran Yesuit yang menulis buku yang berjudul “De legibus ae Deo legislatore” (on Laws and God as legislator). Menurut Suarez adanya hukum atau kaidah obyektif yang harus dituruti oleh negara-negara dalam hubungan antar mereka. Dengan demikian Suarez meletakkan dasar suatu ajaran hukum internasional yang meliputi seluruh umat manusia.

Sarjana lain yang tidak kalah pentingnya adalah Alberico Gentili (1558- 1608) adalah seorang sarjana yang berasal dari Italia dan beragama Protestan dan dia pindah ke Inggris untuk menghindarkan diri dari penghukuman pengadilan Italia. Di Inggris beliau menjadi guru besar untuk hukum perdata (Civil Law) di Oxford. Menurut J. L. Brierly, “...was perhaps the first writer to make a definite separation of international law from theology and ethics and to treat it as a branch of jurisprudence”.

Tulisan Gentili yang terkenal adalah "De jure belli" yang diterbitkan tahun 1598. Menurut Gentili pada masanya maka perang merupakan keadaan normal sedangkan damai adalah merupakan keadaan pengecualian. Persoalan Hukum Internasional yang dibahas oleh Gentili ada 6 (enam) hal, yaitu sebagai berikut :
  1. Persoalan perang adil dalam hal ini dipersoalkan kapan suatu perang ini dianggap adil serta sah menurut hukum dan kapan tidak sah dan tidak adil menurut hukum;
  2. Persoalan hukum perjanjian;
  3. Persoalan perwakilan diplomatik;
  4. Persoalan netralitas;
  5. Persoalan hukum laut; dan
  6. Persoalan perwasitan. 
Gagasan dari Gentili mempengaruhi pendapat dari Hugo Grotius yang lahir di Belanda (tahun 1583-1645). Grotius menulis dua buku tentang Hukum Internasional, yaitu :
  1. De jure praedae; dan
  2. De Jure belli ac pacis. 
Buku pertama mensupport klaim Dutch East India Company melawan Portugis, buku ini tidak pernah dia publish sampai tahun 1864. Kemudian ada karangan yang diterbitkan tanpa nama tahun 1609 bernama "Mare liberum", di mana dalam karangan tersebut dikemukakan untuk melawan kekuasaan Portugis yang menurutnya laut bebas tidak dapat dikuasai oleh suatu negara dan ini terdapat pada salah satu bab De jure praedae.

Grotius mendasarkan sistem Hukum Internasional pada hukum alam. Akan tetapi dia melepaskan konsep hukum alamnya dari pengaruh keagamaan dan kegerejaan. Di samping didasarkan pada hukum alam hubungan antara manusia adalah subyek dari jus gentium. Menurut Grotius setiap negara mempunyai hukumnya yang didasarkan pada ketentuan pemerintah satu negara, di samping itu ada hukum yang ditentukan berdasarkan kesepakatan yang disetujui oleh masyarakat yang lebih besar di mana semua atau hampir semua negara menjadi anggotanya dan hukum ini membentuk jus gentium. Menurut Grotius :
"Justice ... is indeed the highest utility, and merely on that ground neither a state nor the community of states can be preserved without it. But it is also more than utility, because it is part of the true social nature of man, and that is its real title to observance by him"
Grotius dalam buku pertamanya menjelaskan tentang perang. Menurutnya bahwa perang itu sah apabila dilakukan oleh otoritas yang memegang kekuasaan tertinggi dalam satu negara dan ini adalah yang Grotius mempermasalahkan tentang sebab-sebab perang dan menguraikan akibat dari perang sah, yaitu pertahanan diri pada orang dan menghukum pihak yang melanggar.

Dalam bukunya yang ketiga menulis tentang pertanyaan dalam peperangan tindakan apa yang diperbolehkan dan tindakan apa yang dilarang dalam peperangan. Dalam hal ini Grotius tidak hanya menekankan pada negara-negara tentang hukum perang yang ketat tetapi juga menambahkan dengan apa yang disebut dengan temperamenta, pengurangan atau modifikasi yang membuat perang lebih manusiawi (human).

Pengaruh pendapat Grotius dalam Hukum Internasional pun diakui seperti tentang laut bebas (open sea) yang tidak dapat dijadikan subyek kedaulatan bagi satu negara dan pendapatnya tentang hukum perang telah diterima dalam Hukum Internasional. Pandangan Grotius masih berpengaruh pada perkembangan Hukum Internasional.

Setelah Hugo Grotius, penulis-penulis yang terkenal pada abad XVII dan XVIII yang besar pengaruhnya dalam perkembangan Hukum Internasional adalah 
  1. Richard Zouche (1590-1660);
  2. Pufendorf (1632-1694);
  3. Christian Wolf (1609-1764);
  4. von Martens (1756- 1821); dan 
  5. Emmerich Vattel (1714-1767).
Tulisan-tulisan sarjana ini penting karena besar sumbangannya dalam menjelaskan pengertian, mengembangkan konsep dan pembahasan persoalan Hukum Internasional secara sistematis. Menurut Mochtar Kusumaatmadja :
"... berkat karya sarjana hukum terkemuka ini, Hukum Internasional tidak saja sebagai cabang ilmu hukum tetapi juga sebagai satu sistem hukum positif dan mendapat bentuk yang semakin hari semakin jelas".
Richard Zouche yang pada tahun 1650 menerbitkan bukunya yang berjudul "juset judicium feciale, sive jus inter gentes". Ini disebut sebagai manual Hukum Internasional yang pertama. Zouche mementingkan praktek negara sebagai sumber hukum dan Zouche digolongkan sebagai aliran positivisme dalam Hukum Internasional, beliau adalah penulis pertama yang membuat perbedaan dengan jelas antara hukum damai (the law of peace) dan hukum perang (the law of war) dan dikatakan bahwa perang adalah hubungan yang abnormal dalam hubungan antar negara. 

Samuel Pufendorf adalah guru besar di Heidelberg dan kemudian di Lund Swedia tahun 1672 menerbitkan buku "De jure naturae et gentium" beliau dikenal sebagai aliran naturalis beliau berpendapat :
"... for his law of nature was a law of reason directing men at all times, whether organized in political societies or not, and only in this sense has the conception any permanent validity".
Cornelius van Bynkershock (1673-1743) pada Tahun 1737 menulis buku dengan judul "Questiones juris publici". Bynkershock terkenal dengan masalah praktek hukum maritim dan perdagangan dalam praktek dan menempati tempat penting dalam perkembangan Hukum Internasional. Beliau adalah penganut aliran positivisme yang mendasarkan hukum pada kebiasaan (custom), tetapi kebiasaan itu harus dijelaskan dan dikontrol dengan alasan, beliau juga mengakui adanya perjanjian-perjanjian sebagai saksi dari adanya kebiasaan.

Emerich de Vattel (81714-1769), pada tahun 1758 menulis "Le Droit des gens". Ia menerima doktrin "state of nature", negara terdiri dari manusia yang secara alami adalah bebas dan merdeka, sebelum membentuk civil societies hidup bersama dalam suatu negara secara natur. Bangsa atau negara berdaulat harus meliputi begitu banyak orang-orang yang hidup bersama dalam negara secara alami (state of nature). Jika manusia secara alami adalah sederajat demikian juga negara, kuat atau lemah tidak menjadi pertimbangan jadi menurut Vattel negara itu mempunyai persamaan derajat. Doktrin persamaan derajat diperkenalkan di Hukum Internasional.

Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara nasional yang berdaulat timbul di Eropa sebagai masyarakat internasional. Lahirnya negara-negara nasional yang berdaulat dan telah modern adalah di tanda tangani perjanjian Westphalia yang mengakhiri perang tiga puluh tahun (1618-1648) di Eropa. Perjanjian Westphalia melaksanakan perjanjian didasarkan pada hubungan antara negara-negara yang dilepaskan dari persoalan kegerejaan dan didasarkan pada kepentingan-kepentingan nasional masing-masing. Masing-masing negara mempunyai persamaan derajat.

Timbulnya masyarakat internasional setelah perjanjian Westphalia ini makin kuat yang dapat mengatasi keadaan yang timbul pada akhir abad ke XVIII dan abad ke XIX, yaitu ditandai oleh adanya revolusi Prancis dan gerakan di wilayah jajahan negara Eropa di Amerika yang ingin melepaskan dari cengkeraman penjajahan Eropa. Revolusi Prancis sangat besar pengaruhnya karena dengan revolusi Prancis terjadi pergeseran dari kekuasaan absolut negara bergeser kekuasaan di tangan rakyat dan mencanangkan demokrasi dalam bentuk yang modern. 

Pada akhir abad ke XVIII dan permulaan abad ke IX Napoleon berkuasa di Prancis, Napoleon melebarkan kekuasaannya sampai ke Afrika Utara, pada tahun 1789 Napoleon menobatkan dirinya sebagai Kaisar. Napoleon dikalahkan pada tahun 1814-1815. Kongres Wina yang mengakhiri kekuasaan Napoleon meletakkan dasar adanya perimbangan kekuasaan di Eropa. Hukum Internasional menjadi Eropa sentris, yang menganggap Eropa sebagai negara yang civilised, negara yang didasarkan pada agama kristen. Negara-negara di luar itu hanya dapat menjadi anggota dengan syarat yang ditetapkan oleh penguasa barat (western power).

Di Eropa timbullah gerakan dari kerajaan-kerajaan di Eropa yang ingin menghilangkan pengaruh kekuasaan dari Napoleon dan mempertahankan kekuasaan absolut dari raja-raja dan mendirikan Persekutuan Suci (Holly Alliance). Tujuan dari pendirian Holy Alliance itu adalah ingin mengembalikan hegemoni kekuasaan dan hegemoni kerajaan-kerajaan Eropa. 

Usaha ini mengalami kegagalan karena daerah-daerah jajahan kerajaan Eropa yang terletak di daratan Amerika hendak melepaskan diri dari Eropa. Situasi yang demikian menyebabkan anggota Holly Aliance solider untuk menumpas pemberontakan di daratan Amerika tersebut. Maksud Holly Aliance mendapat tentangan keras dari Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat pada Tahun 1823 mengeluarkan doktrin yang terkenal dengan Doktrine Monroe. Isi dari Doktrin Monroe itu adalah :
  1. Benua Amerika tidak dapat dianggap sebagai jajahan Eropa;
  2. Amerika tidak akan ikut campur dalam persoalan Eropa.
Dari negara-negara Eropa (Holly Alliance) untuk menumpas pemberontakan di Amerika yang membebaskan diri dari Eropa dianggap sebagai membahayakan keamanan Amerika Serikat. Pengaruh Doktrine Monroe ini dalam Hukum Internasional sangat besar yaitu diakuinya prinsip tidak akan ikut campur dalam urusan negara lain.

Perkembangan yang penting lainnya adalah adanya revolusi industri di Eropa yang mendorong terciptanya dikotomi ekonomi dari modal dan buruh yang pengaruhnya meluas ke seluruh dunia. Faktor-faktor ini menambah sejumlah institusi dalam Hukum Internasional publik ataupun hukum perdata internasional yang mengakomodasi kemajuan-kemajuan tadi.

Jadi Hukum Internasional pada saat itu dikenal sebagai hukum Eropa dan bersifat kristen. Hukum Internasional pertama kali diperluas dengan diterimanya Turki pada pertengahan abad ke-19 sebagai negara non kristen. Tahun 1914 meningkatnya pengaruh Eropa di Asia misalkan hubungan ke Persia, China dan Jepang. 

Konferensi yang diadakan di Eropa yang memberikan sumbangan tentang aturan-aturan dalam peperangan, misalkan perjanjian Perdamaian tahun 1856, kemudian didirikannya Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross disingkat ICRC) tahun 1863 yang mendorong diadakannya Konvensi Jenewa tahun 1864 untuk mendorong bahwa sengketa antara negara harus lebih manusiawi. Konvensi perdamaian Den Haag I tahun 1899 dan disusul dengan Konvensi Den Haag II Tahun 1907 yang mengatur tentang tindakan (treatment) terhadap tawanan perang dan adanya kontrol terhadap perang. Konvensi Den Haag II Tahun 1907 juga menetapkan berdirinya Permanent Court of Arbitration (PCA). Sejumlah konferensi, konvensi dan kongres-kongres telah diadakan yang menambah ekspansi peraturan-peraturan dalam hubungan internasional.

Perkembangan selanjutnya ditandai dengan adanya Perang Dunia I (tahun 1914-1918) yang diakhiri dengan adanya perjanjian perdamaian di Versailles tahun 1919 dan ditandai dengan berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations dengan maksud akan lebih terjaminnya keamanan. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations mempunyai badan Majelis Umum (General Assembly) dan mempunyai badan eksekutif (Executive Council). 

Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations itu telah membawa kelemahan karena tidak ikutnya Amerika Serikat. Memang keberadaan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations dapat membantu terciptanya perdamaian dan keamanan dunia, tetapi gagal mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional karena Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations tidak mampu menyelesaikan masalah agresi Jepang ke China Tahun 1931 dan dua tahun kemudian keluar dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations, Italia menyerang Etiopia dan Soviet Union dikeluarkan dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations Tahun 1939 karena invasi ke Finlandia. 

Perkembangan yang perlu dicatat adalah perkembangan Tahun 1921 dengan didirikannya Permanent Court International Justice (PCIJ) dan didirikannya organisasi buruh internasional (International Labour Organisation disingkat ILO) yang masih tetap ada sampai sekarang dan timbulnya lembaga-lembaga internasional yang makin maju pada periode itu.

Di samping itu diperkenalkan sistem Mandat, di mana bekas jajahan musuh akan diurus oleh sekutu untuk kepentingan penduduk di wilayah tersebut dari pada dianeksasi oleh sekutu dan usaha untuk melindungi kaum minoritas. Usaha terakhir ini adalah langkah yang kemudian dikenal sebagai melindungi hak-hak asasi manusia.

Jadi dalam sistem Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations pada prinsipnya melarang peperangan untuk menyelesaikan suatu sengketa internasional dan meletakkan bahwa perdamaian antara masyarakat internasional dipentingkan. Di samping prinsip yang terdapat pada Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations ada perjanjian perdamaian antara Inggris dan Amerika Serikat yang terkenal dengan Briand-Kellog Act yang melarang penggunaan perang sebagai cara penyelesaian sengketa.

Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations tidak dapat mencegah adanya perang yang kemudian membuat Perang Dunia II meletus (1939-1945). Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations diganti dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mencoba untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkedudukan di New York, mencerminkan bahwa kekuasaan (power) jauh dari Eropa dan suatu institusi yang benar-benar universal. 

Dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan Badan Peradilan Internasional atau International Court of Justice  (ICJ) sebagai badan yang menggantikan Permanent Court International Justice (PCIJ). Kalau dalam sistem Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of NationsPermanent Court International Justice (PCIJ) terletak di luar struktur Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations, namun di dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Badan Peradilan Internasional atau International Court of Justice  (ICJ) dijadikan salah satu dari alat perlengkapan atau organ Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), statuta Badan Peradilan Internasional atau International Court of Justice  (ICJ) sebagai bagian yang tak terlepaskan dari piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kidakmampuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di dunia ini, seperti masalah Israel-Palestina sampai saat ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tak dapat menyelesaikannya, masalah Timur Tengah dan lain-lain di mana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tak dapat menyelesaikan namun tak sedikit juga hasil yang telah dicapai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan kenyataannya masyarakat internasional masih menganggap perlu adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Demikian penjelasan singkat mengenai Sejarah Hukum Internasional yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.

Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: