BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Yurisdiksi Negara dalam Kejahatan Dunia Maya

Yurisdiksi Negara dalam Kejahatan Dunia Maya
Timbul pertanyaan bagaimana suatu negara melakukan penanganan kejahatan telematika yang bersifat transnasional dikaitkan dengan ketentuan mengenai yurisdiksi Negara. Hal yang penting adalah bagaimana pendekatan yurisdiksi negara terhadap kejahatan dunia maya (cyber crime) yang bersifat transnasional. Adapun yurisdiksi secara konseptual dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :
  1. Jurisdiction To Prescribe, hal mana negara memiliki wewenang untuk menetapkan ketentuan hukum baik pidana ataupun perdata pada subjek hukum atau peristiwa hukum yang terjadi diwilayahnya atau yang dilakukan oleh warga negaranya;
  2. Jurisdiction To Adjudicate, hal mana negara memiliki wewenang untuk memaksa subjek hukum untuk tunduk pada proses peradilan, baik proses pidana maupun perdata;
  3. Jurisdiction To Enforce, hal mana negara memiliki wewenang untuk memaksa subjek hukum untuk memenuhi kewajibannya, atau melaksanakan hukuman yang telah diputuskan oleh badan peradilan negara tersebut. 
Pada dasarnya ketiga konsep ini termasuk dalam prinsip yurisdiksi territorial, dimana satu negara memiliki kewenangan dalam menetapkan hukum pidananya terhadap kejahatan yang berlangsung di dalam wilayah teritorialnya. Ketentuan mengenai apakah bentuk kegiatan tersebut dapat dipidana itu tergantung dari hukum negara dimana tindakan tersebut dilakukan. 

Contoh kasus dapat dilihat pada kasus virus I love You tahun 2000 yang merugikan sekitar 40.000.000 (empat puluh juta) orang di Amerika, hal mana kasus virus ini menimbulkan permasalahan yurisdiksi karena virus ini dibuat oleh Guzman yang merupakan warga negara Philipina dan dinegaranya tersebut tindakan Guzman tidak dianggap sebagai kejahatan berdasarkan hukum Philipina, berbeda dengan Amerika yang menetapkan Guzman sebagai penjahat cyber yang harus ditindak dan diadili. 

Kenyataan ini menggambarkan bahwa kejahatan dunia maya (cyber crime) yang bersifat transnasional membutuhkan adannya pengakuan double criminality, yaitu baik Amerika maupun Philipina sama-sama mengakui bahwa penyebaran virus termasuk sebagai kejahatan sehingga dimungkinkan adanya ekstradisi atau paling tidak adanya legal mutual assistance, dimana kejahatan itu dilaporkan oleh pihak Amerika sedangkan penanganannya dapat dilakukan oleh Philipina.

Kasus lain adalah Yahoo.com Inc. yang dilarang didownload di wilayah Jerman dan Inggris pada tahun 2004-2005. Hal ini dikarenakan Yahoo.com dan America Online.Com menampilkan memoribilia Nazi. Pemerintah Jerman memerintahkan untuk mendenda setiap ISP yang menampilkan Yahoo.com tersebut. Hal ini  diprotes oleh Yahoo.inc karena kegiatan uploading Nazi memoribilia ini tidak bertentangan dengan hukum Federal Amerika. 

Kasus lain terjadi antara Pemerintah Amerika dan Antigua, hal mana ketika pada tahun 2006 Federal Bureau of Investigation (FBI) meminta Interpol untuk mengeluarkan Red Notice untuk menangkap Presiden Perusahaan Gambling Online dari Antigua. Amerika menganggap bahwa gambling online yang berasal dari Antigua adalah melawan hukum Federal. Permintaan Federal Bureau of Investigation (FBI) untuk menangkap pelaku yang menyebarkan online gambling ditolak oleh Antigua karena kegiatan online gambling tersebut tidak bertentangan dengan hukum Antigua. 

Permasalahan yurisdiksi ini kemudian timbul ketika masing-masing negara mengklaim memiliki ketentuan yurisdiksi tersendiri dalam menangani kejahatan dunia maya atau cyber crime. Beberapa prinsip yang mendasari klaim tersebut adalah :
  1. Prinsip Territorial Claim;
  2. Prinsip Individual Claim; dan
  3. Prinsip Ekstradisi yang terdiri dari :
    • Prinsip Perlindungan; dan 
    • Prinsip Universal.
Prinsip Territorial Claim
Pada prinsip teritorial klaim ini negara-negara memiliki ketentuan hukumnya berdasarkan pada:
  1. Lokasi dimana kejahatan telematika dilakukan
    Dalam Konvensi Cyber Crime pada Pasal 2 sampai Pasal 11 menyatakan bahwa setiap peserta konvensi berhak menetapkan yursidiksinya terhadap setiap kejahatan dunia maya (cyber crime) yang dilakukan di dalam wilayah teritorialnya. Contohnya, apabila X seseorang dari Jerman mengirim virus melalui e-mail kepada Y seseorang yang berada di Indonesia, kemudian Y menyebarkan virus tersebut di Indonesia, maka X dapat dikenai pidana berdasarkan hukum Jerman. Hanya saja ketentuan ini akan sulit dibuktikan terutama apabila tidak adanya klaim dari pihak yang dirugikan.
  2. Lokasi dimana komputer sebagai alat kejahatan berada
    Pada hukum telematika Singapura terdapat ketentuan mengenai apabila komputer sebagai media kejahatan dunia maya (cyber crime) berada di dalam yurisdiksi Singapura, maka pemerintah Singapura memiliki kewenangan untuk menangkap dan mengadili pelakunya, meskipun pelakunya adalah bukan warga negara Singapura. Hal ini mengingat bahwa akibat dari kejahatan tersebut bisa berdampak baik pada warga singapura ataupun negara lainnya diluar dari Singapura. Contohnya kasus Danny, seorang pelajar Indonesia yang diadili di Singapura karena melakukan hacking pada beberapa situs baik situs Singapura atau situs dari luar singapura, hal mana tindakannya tersebut dilakukan di dalam Singapura.
  3. Lokasi Korban Kejahatan Telematika
    Lokasi korban kejahatan telematika ini menjadi hal yang krusial yang ada pada yurisdiksi kejahatan dunia maya (cyber crime). Pada kejahatan Child Phornography, Negara A bisa mengklaim untuk menghukum pelaku child phornography, meski pelaku adalah warga negara B, dalam hal ini apabila terbukti bahwa korban adalah anak-anak di Negara A.
Prinsip Individual Claim
Dalam Konvensi Cyber Crime diatur mengenai personality claim bagi pelaku kejahatan dunia maya (cyber crime). Pada ketentuan Pasal 22 Konvensi mengatur bahwa :
"The Cybercrime Convention requires parties to establish jurisdiction “when the offence is committed (. . .) by one of its nationals, if the offence is punishable under criminal law where it was committed or if the offence is committed outside the territorial jurisdiction of any State".
Walaupun demikian masing-masing negara peserta Konvensi Cyber Crime memiliki interpretasi yang berbeda seperti Jerman memiliki ketentuan mengenai pemidanaan bagi warga negara Jerman yang melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) di luar wilayah Jerman dan apabila tindakan tersebut juga dianggap sebagai kejahatan dunia maya (cyber crime) oleh hukum negara dimana kejahatan tersebut dilakukan. 

Contohnya seperti tindakan spy dengan menggunakan keylogger di wilayah hukum Jerman yang merupakan bagian dari kejahatan dunia maya (cyber crime), akan tetapi Gaul seorang warga negara Jerman melakukan tindakan tersebut di wilayah Fiji yang notabene tidak mengatur  tindakan spy adalah kejahatan sehingga Gaul tidak dapat dipidana. Akan tetapi, ketika seorang warga negara Jerman melakukan akses tanpa ijin pada sistem komputer di Amerika kemudian orang tersebut kembali ke Jerman, maka pemerintah Jerman dapat menangkap dan mengadili orang tersebut karena melakukan kejahatan telematika dan melanggar hukum federal tentang kejahatan dunia maya atau cyber crime di Amerika. 

Selain itu yurisdiksi kejahatan telematika mengenal personality claim dari sisi korban. Di Amerika, ketentuan hukum federal Amerika mengenai cyber crime diatur pada U.S. Code No. 1030 yang mengatur mengenai yurisdiksi untuk mengadili bagi siapa saja yang melakukan sabotase pada sistem komputer milik pemerintah Amerika meskipun kejahatan tersebut dilakukan di luar wilayah Amerika. 

Hal ini serupa dengan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Hanya permasalahannya selalu terbentur pada masalah extradisi karena tidak semua negara memiliki perjanjian ekstradisi yang berlaku bagi pelaku kejahatan telematika.

Prinsip Ekstradisi
Prisnip ekstradisi terdiri dari 2 (dua) macam yaitu :
  1. Prinsip Perlindungan
    Konsep ini dapat diterapkan oleh setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap kejahatan yang menyangkut keamanan dan integritas atau kepentingan ekonominya. Prinsip ini dapat diterapkan terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar wilayahnya tetapi diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas dan kemerdekaan negara tersebut. Contohnya, pada tahun 2004 seorang Hacker Amerika memainkan war games dan menyelundup ke dalam sistem keamanan nasional Inggris. Hal mana sistem keamanan Inggris ini digunakan untuk memeras pemerintah Inggris. Akibat dari perbuataannya tersebut, Pemerintah Inggris menuntut hacker tersebut untuk diekstradisi dan diadili di Inggris, akan tetapi pihak Amerika mengklaim bahwa Pemerintah Amerika yang berhak untuk menerapkan yurisdiksinya.
  2. Prinsip Universal
    Untuk beberapa kejahatan dunia maya (cyber crime) tertentu seperti kejahatan child phornography, perdagangan anak dan perempuan lewat internet, terorisme (contohnya transfer dana untuk kegiatan terorisme melalui elektronik perbankan) dan jual beli narkotika melalui internet, maka banyak negara yang mengklaim kejahatan tersebut dapat dipidana di negaranya berdasarkan prinsip universal. 
Timbul pertanyaan bagaimana negara-negara di dunia menangani kejahatan dunia maya (cyber crime) yang bersifat transnasional. Adapun langkah-langkah yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
  1. Adanya persamaan persepsi dari negara-negara mengenai bentuk kejahatan dunia maya (cyber crime) apa saja yang dianggap sebagai kejahatan dunia maya (cyber crime) yang bersifat transnasional;
  2. Adanya kerja sama antar negara berkaitan dengan alih teknologi dalam usaha melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan dunia maya (cyber crime);
  3. Adanya kesamaan persepsi mengenai digital evidence pada hukum nasional setiap negara;
  4. Membentuk perjanjian internasional atau regional mengenai kejahatan dunia maya (cyber crime). Saat ini hanya Eropa yang memiliki Konvensi mengenai cyber crime, walaupun demikian tidak menutup kemungkinan negara lain dapat meratifikasi konvensi tersebut; dan
  5. Adanya perjanjian ekstradisi bagi pelaku kejahatan dunia maya (cyber crime) atau setidaknya kerja sama Mutual Legal Assistance.
Demikian penjelasan singkat mengenai Yurisdiksi Negara dalam Kejahatan Dunia Maya atau Cyber Crime yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: