BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak

Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak
  1. Kekerasan Fisik;
  2. Kekerasan Seksual;
  3. Kekerasan Ekonomi; dan
  4. Kekerasan Psikologis.
Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik yang menimpa anak-anak terjadi dalam berbagai bentuk, seperti contohnya :
  1. Pembunuhan;
  2. Penganiayaan;
  3. Perengutan Kemerdekaan;
  4. Pembuangan Bayi;
  5. Pengguran Kandungan;
  6. dan sebagainya 
Dari apa yang sering diberitakan di media massa, ada kalanya anak dibunuh oleh orang tuanya sendiri karena beberapa alasan antara lain karena :
  1. Orang tua tidak sanggup menanggung beban hidup;
  2. Bayi dibuang karena kelahirannya tidak diharapkan;
  3. Bayi dalam kandungan digugurkan kelahirannya tidak diharapkan.
Bahkan di beberapa negara yang penghargaannya amat tinggi terhadap anak laki-laki, bayi dalam kandungan digugurkan kalau ketahuan bayi tersebut berjenis kelamin perempuan atau kalau lahir bayi tersebut berjenis kelamin perempuan. 

Kasus penganiayaan terhadap anak-anak juga tak pernah sepi dari pemberitaan media massa, seperti ayah atau ibu yang memukul anaknya, guru yang memukul muridnya dan penganiayaan oleh siswa atau mahasiswa senior terhadap mahasiswa junior (baru) ketika dalam proses ospek. 

Demikian juga tidak sedikit kasus penganiayaan yang dilakukan majikan terhadap asisten rumah tangganya yang mungkin melakukan sedikit kesalahan. Perengutan kemerdekaan anak terjadi ketika anak dikurung atau disekap dalam kamar oleh majikan ataupun oleh orang tua karena anak melakukan sedikit kesalahan.

Kekerasan fisik yang dialami anak dalam kehidupan rumah tangga terutama yang dilakukan oleh orang tua secara teoritis dapat dikaitkan dengan adanya nilai negatif anak bagi orang tua sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Paul Meyer dan juga Masri Singarimbun yang menyatakan bahwa anak mempunyai nilai positif dan nilai negatif bagi kehidupan orang tua. Nilai positip anak bagi orang tua adalah berupa fungsi, nilai, kepuasan, kebaikan dan keuntungan sedangkan nilai negatif anak bagi orang tua berupa gangguan, disvalues, ongkos, beban, kesulitan dan kerugian.

Dalam beberapa kasus yang pernah diberitakan media massa baik cetak maupun elektronik, kekerasan fisik yang terjadi di dalam rumah tangga seperti pembunuhan, penganiayaan terhadap anak atau pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua (ayah atau ibu) memang sering kali dilatarbelakangai oleh adanya anggapan bahwa anaknya merupakan beban terutama beban ekonomi karena harus banyak keluar biaya atau beban mental karena anak-anaknya nakal sehingga dianggap gangguan karena mengurangi kebebasan dalam menjalani hidup. Dalam hal-hal seperti itu, orang tua mengambil jalan pintas dengan melenyapkan si anak dengan cara membunuh ataupun membuangnya ketika masih bayi. 

Kekerasan Seksual
Dari pemberitaan di media massa baik media cetak maupun media elektronik ataupun informasi yang diperoleh dari berbagai dokumen seperti laporan penelitian, makalah dalam seminar, jurnal atau majalah dan kasus-kasus yang telah ditangani oleh Pengadilan dapat diketahui berbagai bentuk kekerasan seksual baik diderita oleh anak laki-laki maupun yang dialami anak perempuan. Bentuk-bentuk kekerasan seksual khususnya terhadap anak perempuan meliputi : 
  1. Pemerkosaan;
  2. Pelacuran;
  3. Trafficking (perdagangan anak);
  4. Eksploitasi seksual seperti sodomi dan phaedophilia,
Adapun terkait dengan pemerkosaan, Nitibaskara menyebutkan terdapat 3 (tiga) jenis atau bentuk pemerkosaan, yaitu terdiri dari :
  1. Seductive Rape, yakni pemerkosaan yang dilakukan dengan cara membujuk korban;
  2. Sadistic Rape, yakni penyalahgunaan seksual yang dilakukan dengan cara menganiaya si korban; dan
  3. Dominism Rape, yakni penyalahgunaan seksual yang biasanya terjadi di lingkungan keluarga seperti ayah terhadap anak ataupun kakek terhadap cucu.
Kasus-kasus pemerkosaan ataupun penyalahgunaan seksual dalam bentuk lainnya selain dilakukan dengan cara-cara tersebut di atas, ada juga yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan mistik dan antropologis seperti kasus yang pernah menghebohkan di Kediri tahun 1986 dimana suatu perguruan ilmu kekebalan mengajarkan murid-muridnya untuk memperkosa anak-anak kecil sampai minimal 40 (empat puluh) kali supaya bisa lulus. Perguruan ini mempunyai kepercayaan bahwa darah anak kecil mampu memberikan kekuatan untuk menjadi kebal.

Dilihat dari hubungan si pelaku dengan anak yang menjadi korban banyak diantaranya pelakunya adalah orang-orang yang dikenal dengan baik bahkan ada yang mempunyai hubungan keluarga seperti orang tuanya, gurunya ataupun majikannya. Menghadapi orang-orang yang dikenal dan mempunyai kedekatan, justru anak-anak menjadi tidak berdaya karena adanya rasa percaya dan patuh kepadanya. 

Kekerasan Ekonomi
Selain kekerasan pisik dan kekerasan seksual sebagaimana telah dijelaskan di atas, kekerasan ekonomi juga banyak dialami oleh anak-anak. Adapun yang dimaksusd dengan kekerasan ekonomi terhadap anak di sini adalah tindakan yang dialami oleh anak-anak untuk memenuhi kepentingan ekonomi pihak lain (termasuk keluarga dan majikan) ataupun kepentingan dirinya sendiri yang menyebabkan anak-anak yang bersangkutan tidak dapat memenuhi hak-hak dasarnya untuk tumbuh berkembang sebagai layaknya anak-anak pada umumnya.

Mereka (anak-anak yang mengalami kekerasan ekonomi) pada umumnya berasal dari keluarga miskin yang terpaksa bekerja untuk membantu orang tuanya menyambung hidup keluarga ataupun untuk hidupnya sendiri. Ada berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak yang tergolong terpaksa bekerja, yakni antara lain sebagai :
  1. Pekerja Jalanan (Anak Jalanan);
  2. Pekerja Rumah Tangga (Pembantu Rumah Tangga); dan 
  3. Pekerja Industri (Buruh Pabrik). 
Walaupun mereka terpaksa bekerja, pada umumnya kehidupannya lebih terjamin meskipun terkadang juga tergantung dari majikan tempat dia bekerja. Ada kalanya mereka tidak luput dari kekerasan ekonomi lainnya seperti eksploitasi tenaga kerja (disuruh bekerja melebihi dari jam kerja sepantasnya) dengan pembayaran upah yang rendah. 

Selain itu dalam beberapa kasus, anak-anak itu juga sering mendapat perlakukan pelecehan seksual  atau kekerasan pisik (penganiayaan) dari majikannya apabila melakukan sedikit kesalahan. Adapun anak-anak yang bekerja di jalanan sebagai anak jalanan melakukan kegiatan berdagang seperti menjual permen, rokok, mengecer koran dan menjajakan makanan. Bentuk kegiatan lainnya yang dilakukan oleh anak-anak jalanan adalah menjual jasa, antara lain menjadi tukang semir sepatu, tukang lap mobil, mengangkut barang, menjadi pengamen dan kegiatan yang paling sering dilakukan oleh anak-anak jalanan itu adalah mengemis.

Jika ditelusuri lebih jauh, anak-anak yang terpaksa bekerja dapat dibedakan atas anak yang terpaksa bekerja membantu orang tuanya untuk menghidupi keluarga karena keadaannya memaksa walaupun sebenarnya orang tuanya tahu dan menyadari bahwa seharusnya ia tidak memperlakukan anaknya untuk bekerja. 

Di pihak lain, ada juga kondisi dimana orang tuanya dengan sengaja menyuruh anaknya bekerja karena anak memang dianggap sebagai aset ekonomi bagi keluarga. Selain itu, ada juga anak terpaksa bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri karena mereka ditelantarkan oleh orang tuanya atau bisa juga menjadi anak terlantar karena tidak punya keluarga lagi. Apapun alasan yang ada dibelakangnya, pada prinsipnya anak-anak yang terpaksa bekerja tidak dapat menikmati hak-hak dasarnya sebagai anak pada umumnya.

Anak-anak yang terpaksa bekerja (seharusnya tidak boleh dipekerjakan atau bekerja) jaminan hidupnya harus ditanggung oleh negara karena mereka tergolong anak-anak terlantar secara ekonomi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan sebagai berikut:
"Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara".
Di antara mereka yang masih tergolong usia anak-anak, ada katagori anak yang secara legal (menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku) memang sudah diperbolehkan bekerja sebagai pekerja anak dan memperoleh perlindungan hukum. Adapun tentang batas usia anak yang boleh bekerja ternyata penetapannya berbeda-beda. Perbedaan mengenai batas usia kerja perlu diadakan mengingat beberapa kenyataan, yaitu : 
  1. Perbedaan bentuk dan jenis pekerjaan seperi misalnya pekerjaan di sektor industri, pertanian, perikanan atau bangunan, maka akan timbul tuntutan pekerjaan yang berbeda terhadap tenaga dan daya tahan jasmani anak dan tanggung jawab kerja dari anak;
  2. Perbedaan lokasi dan lingkungan fisik dari pekerjaan, misalnya pekerjaan di darat, di laut, di sungai, di hutan, dan lain-lain yang masing-masing dapat menimbulkan efek tertentu terhadap keamanan dan kesehatan anak;
  3. Perbedaan lingkungan sosial dari pekerjaan, misalnya apakah anak bekerja dalam kelompok kecil atau kelompok besar, apakah anak-anak akan bekerja dengan anak-anak seusia ataukah dengan orang dewasa, ataukah mereka akan bekerja sesama anak laki-laki saja ataukah bersama anak-anak perempuan. Perbedaan lingkungan sosial akan berpengaruh berbeda terhadap proses sosialisasi terhadap anak yang bekerja;
  4. Perbedaan waktu, yaitu kapan pekerjaan dilakukan, apakah siang ataukah malam hari. Hal ini berpengaruh terhadap kesehatan dan keamanan anak bekerja;
  5. Perbedaan jangka waktu kerja, yaitu lamanya anak bekerja, hal mana tentu berbeda efeknya terhadap kesehatan dan pendidikan anak.
Anak-anak yang telah diperbolehkan bekerja menurut aturan hukum yang berlaku yaitu yang telah mendapat jaminan baik sosial maupun ekonomi dan mendapat perlindungan secara hukum.

Kekerasan Psikologis
Dalam perjalanan hidup anak, selain mendapat kekerasan pisik, seksual, ekonomi, tidak jarang juga anak-anak mengalami kekerasan psikologis dalam berbagai bentuk, antara lain mendapat kata-kata kotor yang menyakitkan hati baik yang dilakukan oleh orang tua ataupun oleh majikan ditempat ia bekerja, diusir, diejek, dicemoh, dilecehkan karena cacat pisik, karena kemiskinannya ataupun karena kebodohannya.

Demikian penjelasan singkat mengenai Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.

Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: