BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Upaya Penanggulangan Kekerasan terhadap Anak

Upaya Penangulangan Kekerasan terhadap Anak
Anak mempunyai nilai positif dan kedudukan yang sangat penting bagi orang tua, masyarakat, bangsa dan negara terutama sebagai penerus generasi, maka sudah seharusnya anak mendapat perhatian yang serius terutama dalam menjadikan mereka sumber daya manusia yang berkualitas dengan cara memenuhi hak-hak dasarnya sebagai anak atau individu. 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat sejak 1 Januari hingga 16 Maret 2021 terdapat 426 (empat ratus dua puluh enam) kasus kekerasan seksual dari total 1.008 (seribu delapan) kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan, Ali Hasan mengatakan bahwa data tersebut berdasarkan hasil pelaporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA, Jumat, 19 Maret 2021). 

Korban yang mengalami kekerasan seksual bisa juga mengalami kekerasan fisik dan menderita secara psikis. Child abuse seringkali diidentikan dengan kekerasan yang tampak seperti kekerasan fisikal dan kekerasan seksual, padahal kekerasan yang bersifat psikis dan sosial juga dapat membawa dampak buruk yang bersifat permanen terhadap anak.

Anak adalah generasi penerus bangsa yang seharusnya dilindungi dan diasuh dengan baik sebagaimana ketentuan yang dimuat dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)yang menyebutkan bahwa : 
"Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi".
Dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Anak tahun 1989 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indoneisa Nomor 39 Tahun 1990 menyebutkan terdapat 4 (empat) hak dasar anak, yaitu terdiri dari :
  1. Hak untuk bertahan hidup;
  2. Hak untuk mendapat perlindungan;
  3. Hak untuk tumbuh dan berkembang; dan
  4. Hak untuk berpartisipasi
Namun fakta dilapangan menunjukan hal yang berbeda. Anak Indonesia belum memperoleh hak-haknya dengan semestinya. Masih banyak anak Indonesia yang belum memperoleh hak dasarnya dengan baik, seperti pelayanan akta kelahiran, pelayanan Kesehatan dan Pendidikan yang memadai. Anak Indonesia juga tengah mengalami ancaman serius yaitu ancaman eksploitasi dan perilaku kekerasan. Oleh karena itu, penanggulangan semestinya berupaya membuat si anak dapat menikmati hak-hak dasarnya tersebut.

Saat ini belum ada upaya pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diatur secara komprehensif. Oleh karena itu, dia menilai Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) perlu segera disahkan. Tentunya kasus kekerasan ini sebagai fenomena gunung es yang terlihat hanya dibagian puncaknya sama dipermukaan saja padahal sebenarnya permasalahannya jauh lebih besar dari itu.

Berbagai saran dan rekomendasi juga sudah disampaikan oleh para ahli dalam berbagai pertemuan ilmiah, akan tetapi tampaknya masih mengalami banyak hambatan dan tantangan dalam pelaksanaannya sehingga belum mencapai hasil yang optimal. Adapun hambatan yang sering ditemui, yakni antara lain :
  1. Ketentuan peraturannya yang kurang jelas;
  2. Penegakan hukumnya yang lemah; dan
  3. Kesadaran hukum masyarakat yang lemah .
Mengingat akar permasalahan terjadinya kekerasan terhadap anak itu sangat beragam dan komplek, demikian juga bentuk-bentuk kekerasan yang dialami anak-anak juga bermacam-macam, maka penanggulangannyapun perlu dilakukan secara konfrehensif dengan mempertimbangkan keseluruhan akar permasalahannya. 

Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ataupun kelompok tertentu yang mempunyai kepedulian terhadap permasalahan anak melakukan berbagai upaya penanggulangan, baik secara terpisah maupun bersama-sama secara terpadu seperti dengan menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik.

Anderson (1979) dalam Subarsono (2006) mengemukakan bahwa kebijakan publik merupakan tindakan-tindakan yang ditetapkan oleh badan dan aparat Pemerintah. Sementara itu menurut Thomas R Dye (1995), kebijakan publik (public policy) merupakan :
"what government do or not to do, why they do it, and what difference it makes".
Terjemahan Bebas :
"segala sesuatu apa yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa mereka melakukan itu dan apa perbedaan (hasil) akibat yang mereka lakukan tersebut". 
Definisi yang dikemukakan oleh Thomas R Dye lebih luas dari yang dikemukakan oleh James E Anderson. Thomas R Dye melihat bahwa ketika Pemerintah tidak melakukan apa-apa terhadap suatu masalah publik juga merupakan suatu kebijakan publik. Kebijakan publik juga bukan sesuatu yang bebas nilai. Kebijakan publik harus mengakomodasi nilai dan praktek sosial yang ada di masyarakat. 

Laswell dan Kaplan dalam Subarsono (2006) mengemukakan bahwa kebijakan publik berisikan tujuan, nilai, dan praktek-praktek sosial yang ada di masyarakat. Adapun fungsi kebijakan publik diantaranya adalah untuk : 
  1. Menyelesaikan berbagai persoalan publik;
  2. Merespon tuntutan masyarakat dan
  3. Melakukan rekayasa sosial untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.
William N. Dunn (2003) mengemukakan bahwa analisis kebijakan publik merupakan kombinasi aktivitas intelektual dan praktis yang bertujuan untuk menciptakan, menilai secara kritis dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Analisis kebijakan tidak diciptakan untuk membangun atau menguji teori secara ilmiah dan akademis, analisis kebijakan lebih bersifat praktis yang ditujukan untuk merespon masalah dan krisis yang dihadapi pemerintah. Oleh karena itu, analisis kebijakan bertujuan untuk memproduksi informasi mengenai nilai-nilai dan serangkaian Tindakan yang dapat dipilih untuk mengatasi berbagai masalah publik. Sehingga dengan demikian, analisis kebijakan dapat dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai persoalan publik.

Selain itu, menurut Patton dan Sawicki (1993) analisis kebijakan publik dapat dilakukan sebelum ataupun sesudah kebijakan (tindakan) pemerintah dilakukan untuk mengatasi suatu masalah tertentu. Patton dan Sawicki (1993) mengungkapkan bahwa analisis kebijakan merupakan evaluasi kelayakan teknis, ekonomi dan politik secara sistematis dari berbagai alternatif kebijakan (rencana atau program), strategi untuk implementasi dan konsekuensi dari pelaksanaan suatu kebijakan.

Dengan demikian inti dari produk dari analisis kebijakan adalah rekomendasi kebijakan untuk diimplementasikan. Namun, proses analisis kebijakan merupakan proses yang dilakukan terus menerus dan berkelanjutan, rekomendasi kebijakan yang diimplementasikan dievaluasi dan digunakan sebagai feedback bagi proses analisis kebijakan berikutnya. Dunn (2003) mengemukakan ada 5 tahapan dalam melakukan analisis kebijakan. Tahapan tersebut adalah :
  1. Perumusan masalah
    Tahapan ini merupakan tahapan krusial dalam melakukan analisis kebijakan. Kesalahan dalam melakukan perumusan masalah mengakibatkan kesalahan fatal dalam menyusun rekomendasi kebijakan. Tahapan ini menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.
  2. Peramalan
    Tahapan ini menghasilkan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk bila tidak melakukan tindakan apapun.
  3. Rekomendasi
    Tahapan ini menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah.
  4. Pemantauan
    Tahapan ini menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan.
  5. Evaluasi,
    Tahapan ini menghasilkan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengetasan masalah.
Untuk merumuskan masalah kebijakan penanggulangan kekerasan terhadap anak, Dunn (2003) mengemukakan bahwa analisis hierarki merupakan sebuah teknik untuk mengidentifikasi sebab-sebab yang mungkin dari suatu situasi masalah. Analisis hirarki membantu analisis untuk mengidentifikasi terdiri dari 3 (tiga) macam sebab, yaitu :
  1. Sebab yang mungkin (possible cause);
  2. Sebab yang masuk akal (plausible cause); dan 
  3. Sebab yang dapat ditindak lanjuti (actionable cause).
Semakin meningkatnya kasus kekerasan kepada anak dapat dikatakan sebagai akibat dari beberapa sebab-sebab yakni sebagai berikut : 
  1. Aspek psikologis
    Kekerasan terhadap anak dapat disebabkan karena dewasa ini anggota keluarga atau masyarakat terdekat mengalami masalah atau penyakit mental. Contoh fenomena yang terjadi yaitu berbagai kondisi dan dinamika masyarakat seperti kesulitan mencari pekerjaan, pendapatan rendah, kemiskinan, permukiman padat dan kumuh, kemacetan, polusi, kesibukan pekerjaan yang tinggi, tuntutan sosial dapat memicu stress pada orang dewasa yang akhirnya dilampiaskan dengan melakukan kekerasan pada anak.
  2. Aspek sosial
    Kekerasan terhadap anak juga disebabkan karena kurangnya pengendalian sosial (social control) untuk melakukan pengawasan dan perlindungan dari masyarakat terdekat anak. Fakta yang terjadi adalah kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orang-orang terdekatnya dan fokus kejadiannya di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terdekat. Hal ini menunjukkan kurangnya kepedulian (awareness) dan partisipasi masyarakat dalam mendeteksi, mencegah dan melaporkan terjadinya perilaku kekerasan pada anak yang terjadi di lingkungannya.
  3. Aspek budaya
    Menurut Supeni (2010) kekerasan pada anak juga dapat terjadi karena adanya budaya kekerasan di sebagian masyarakat. Anak dipandang sebagai milik mutlak sehingga harus takluk untuk memenuhi keinginan orang tua. Anak juga dipandang sebagai target untuk memenuhi ambisi orang tua dan ketika anak tidak dapat memenuhinya, maka anak akan diperlakukan dengan kekerasan. Selain itu terdapat pula budaya di masyarakat bahwa penggunaan hukuman fisik merupakan bentuk upaya mendisiplinkan anak.
  4. Aspek hukum
    Dilihat dari beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak diantaranya adalah hukuman yang diberikan kepada pelaku belum maksimal memberikan efek jera. Saat ini aktivis penggiat perlindungan anak mengusulkan untuk memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak yaitu hukuman kebiri melalui suntikan kimia walaupun usulan hukuman ini menjadi kontroversi bagi pihak lain.
Masalah substansi ada pada aspek sosial, yaitu kurangnya pengendalian sosial (social control) untuk melakukan pengawasan dan perlindungan dari masyarakat terdekat anak. Menurut Varyani, dkk (2014) pengendalian sosial (control sosial) merupakan mekanisme untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan mengarahkan anggota masyarakat untuk bertindak menurut norma dan nilai yang melembaga. Adapun masalah formal (penyebab yang dapat ditindak lanjuti) yang dirumuskan mengenai kekerasan terhadap anak adalah :
  1. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terkait norma atau kaidah perlindungan anak dan kekerasan terhadap anak;
  2. Kurangnya kepedulian (awareness) masyarakat untuk melakukan pencegahan dan deteksi dini terhadap tindak kekerasan pada anak;
  3. Kurangnya perilaku konkret masyarakat untuk melakukan pencegahan dan deteksi dini tindakan kekerasan pada anak; dan
  4. Kurangnya metode atau mekanisme perlindungan preventif persuasif (pencegahan, deteksi dini dan pelaporan) kekerasan terhadap anak di masyarakat.
Berdasarkan masalah substantif dan masalah formal yang telah diuraikan diatas, maka kebijakan yang direkomendasikan untuk dapat menanggulangi masalah kekerasan terhadap anak adalah kebijakan layanan kids help line. Dalam upaya implementasinya, pemerintah diharapkan memiliki komitmen kuat dan menyediakan sumber daya yang memadai (SDM, anggaran, sarana prasarana IT) agar kebijakan ini dapat berjalan dengan baik sehingga kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia dapat diminimalisasi

Dalam penanggulangannya memerlukan banyak pihak yang harus terlibat seperti pemerintah, lembaga swasta, lembaga pendidikan, masyarakat dan keluargabahkan juga anak yang menjadi korban, hal mana para pihak tersebut perlu bekerja secara bersinergi. Langkah-langkah yang ditempuh perlu dilakukan secara sistematis yang artinya, yaitu :
  1. Ketika anak belum menjadi korban atau sebagai calon korban;
  2. Ketika anak sedang menjdi korban; dan 
  3. Ketika setelah anak menjadi korban.
Demikian penjelasan singkat mengenai Upaya Penangulangan Kekerasan terhadap Anak yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.

Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: