BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Peraturan tentang Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime)

Peraturan tentang Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime)
Dalam artikel yang ditulis oleh Kombes (Pol) Drs. Petrus Reinhard Golose, M. M. mengungkapkan bahwa terdapat beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan kejahatan dunia maya atau cyber crime yang berlaku di Indonesia, yakni antara lain :
  1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
  2. Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
  3. Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
  4. Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan;
  5. Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
  6. Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam upaya menangani kasus-kasus yang terjadi para penyidik melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaaan terhadap pasal-pasal yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) biasanya digunakan lebih dari satu Pasal karena melibatkan beberapa perbuatan sekaligus. Adapun pasal-pasal yang dapat dikenakan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada kejahatan dunia maya atau cyber crime, yaitu terdiri dari :
  1. Pasal 362 KUHP
    Adapun pada pasal ini dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di Internet untuk melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
  2. Pasal 378 KUHP
    Adapun pada pasal ini dapat dikenakan untuk penipuan dengan seolah-olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan. Akan tetapi, pada kenyataannya barang tersebut tidak ada. Hal tersebut diketahui setelah uang dikirimkan dan barang yang dipesankan tidak datang sehingga pembeli tersebut menjadi tertipu.
  3. Pasal 335 KUHP
    Adapun pada pasal ini dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan membawa dampak yang membahayakan. Hal ini biasanya dilakukan karena pelaku biasanya mengetahui rahasia korban.
  4. Pasal 311 KUHP
    Adapun pada pasal ini dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan e-mail kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan e-mail ke suatu mailing list sehingga banyak orang mengetahui cerita tersebut.
  5. Pasal 303 KUHP
    Adapun pada pasal ini dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di Internet dengan penyelenggara dari Indonesia.
  6. Pasal 282 KUHP
    Adapun pada pasal ini dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak beredar dan mudah diakses di internet. Walaupun berbahasa Indonesia, sangat sulit sekali untuk menindak pelakunya karena mereka melakukan pendaftaran domain tersebut di luar negri dimana pornografi yang menampilkan orang dewasa bukan merupakan hal yang ilegal.
  7. Pasal 282 dan 311 KUHP
    Adapun pada pasal ini dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di Internet. 
  8. Pasal 378 dan 262 KUHP
    Adapun pada pasal ini dapat dikenakan pada kasus carding karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kreditnya yang nomor kartu kreditnya merupakan curian.
  9. Pasal 406 KUHP
    Adapun pada pasal ini dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Menurut Pasal 1 angka (8) Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyebutkan bahwa program komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang intruksi-intruksi tersebut. Adapun hak cipta untuk program computer berlaku selama 50 (lima puluh) tahun (vide: Pasal 30). 

Harga program komputer atau software yang sangat mahal bagi warga negara Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis guna menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat murah misalnya seperti program anti virus seharga $ 50 (lima puluh dollar) dapat dibeli dengan harga Rp. 20.000,00 (dua puluh ribu rupiah). Penjualan dengan harga sangat murah dibandingkan dengan software asli tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi pelaku sebab modal yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah) perkepingnya. 

Maraknya pembajakan software di Indonesia yang terkesan dimaklumi tentunya sangat merugikan pemilik hak cipta. Tindakan pembajakan program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (3) yaitu menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyebutkan bahwa telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/ atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya. 

Dari definisi tersebut, maka internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik. 

Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan undang-undang ini terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi : 
  1. Akses ke jaringan telekomunikasi;
  2. Akses ke jasa telekomunikasi; dan
  3. Akses ke jaringan telekomunikasi khusus
Apabila melakukan hal sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut diatas, maka dapat dikenakan Pasal 50 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang menyebutkan bahwa barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya seperti alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan misalnya seperti Compact Disk-Read Only Memory (CD-ROM) dan Write-Once-Read -Many (WORM) yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan sebagai alat bukti yang sah.

Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang 
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan undang-undang yang paling ampuh bagi seorang penyidik untuk mendapatkan informasi mengenai tersangka yang melakukan penipuan melalui internet karena tidak memerlukan prosedur birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama dan penipuan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang termasuk dalam pencucian uang (vide: Pasal 2 Ayat (1) Huruf q). 

Penyidik dapat meminta kepada bank yang menerima transfer untuk memberikan identitas dan data perbankan yang dimiliki oleh tersangka tanpa harus mengikuti peraturan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Dalam Undang-Undang Perbankan, identitas dan data perbankan merupakan bagian dari kerahasiaan bank sehingga apabila penyidik membutuhkan informasi dan data tersebut, prosedur yang harus dilakukan adalah mengirimkan surat dari Kapolda ke Kapolri untuk diteruskan ke Gubernur Bank Indonesia. 

Prosedur tersebut memakan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan data dan informasi yang diinginkan. Oleh karena itu, dengan adanya Undang-Undang Pencucian Uang prosesnya lebih cepat karena Kapolda cukup mengirimkan surat kepada Pemimpin Bank Indonesia di daerah tersebut dengan tembusan kepada Kapolri dan Gubernur Bank Indonesia, sehingga data dan informasi yang dibutuhkan lebih cepat didapat dan memudahkan proses penyelidikan terhadap pelaku karena data yang diberikan oleh pihak bank berisikan :
  1. Jumlah uang yang masuk dan keluar di rekening;
  2. Kapan dilakukan transaksi; dan 
  3. Dimana dilakukan transaksi .
Dari data yang diberikan pihak bank, penyidik dapat menelusuri keberadaan pelaku berdasarkan data-data tersebut. Undang-undang ini juga mengatur mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga mengatur mengenai alat bukti elektronik.

Pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 huruf b menyebutkan bahwa alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Digital evidence atau alat bukti elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus terorisme karena saat ini komunikasi antara para pelaku di lapangan dengan pimpinan atau aktor intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di Internet untuk menerima perintah atau menyampaikan kondisi di lapangan karena para pelaku mengetahui pelacakan terhadap Internet lebih sulit dibandingkan pelacakan melalui handphone. 

Adapun fasilitas yang sering digunakan adalah e-mail dan chat room, selain itu juga para teroris mencari informasi dengan menggunakan search engine serta melakukan propaganda melalui bulletin board atau mailing list.

Demikian penjelasan singkat mengenai Peraturan tentang Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime) yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.

Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: