BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Penanggulangan Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime) di Indonesia

Penanggulangan Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime) di Indonesia
Aktivitas pokok dari kejahatan dunia maya atau cyber crime adalah penyerangan terhadap content, computer system dan communication system milik orang lain atau umum di dalam cyber space. Fenomena kejahatan dunia maya atau cyber crime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda dengan kejahatan lain pada umumnya. kejahatan dunia maya atau cyber crime dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak memerlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. 

Perkembangan teknologi dan informasi selalu diikuti dengan perkembangan kriminalitas. Oleh karena itu, hukum pidana harus mengikuti perkembangan kriminalitas sehingga diharapkan dapat memberi perlindungan dan rasa keadilan dalam masyarakat, serta hukum tidak ketinggalan zaman, bahkan hukum harus dapat mencegah dan mengatasi kejahatan yang bakal muncul (Bakat Purwanto, 1995:4).

Hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum pada prinsipnya mempunyai fungsi dan tugas sebagai alat untuk melindungi hak asasi setiap orang maupun kepentingan masyarakat dan negara agar tercapai keseimbangan, ketertiban, ketenteraman dan keamanan dalam menjaga kehidupan masyarakat (Adenan, 1995:74). Berikut ini cara mengatasi kejahatan dunia maya atau cyber crime di Indonesia :
  1. Membuat Peraturan Perundang-undangan;
  2. Membentuk Lembaga Penanganan Khusus; dan
  3. Memperkuat Sistem.
Membuat Peraturan Perundang-undangan
Cara paling elegan agar tindakan kejahatan dunia maya (cyber crime) tidak semakin merajalela adalah dengan membuat peraturan yang dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Penegakan hukum nantinya bakal membuat para pelaku kejahatan dunia maya (cyber crime) berpikir panjang sebelum melakukan tindakan kriminal karena memiliki dasar hukum yang jelas. 

Di Indonesia, peraturan mengenai kejahatan dunia maya (cyber crime) saat ini menginduk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun, sayangnya pola penindakannya masih belum maksimal dan seringkali terkesan dipaksakan. Penegakan hukum di ranah dunia maya memang masih abu-abu karena dokumen elektronik sendiri belum bisa dijadikan sebagai barang bukti oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Sehubungan dengan perangkat perundang-undangan dalam mengantisipasi maraknya kejahatan dengan menggunakan internet (cyber crime), undang-undang pidana kita belum mampu menjerat pelaku tindak pidana yang dilakukan di dunia maya (cyber crime). Sekalipun perangkat hukum seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sudah dimiliki Indonesia, namun peraturan itu masih belum cukup mampu menjerat pelaku tindak pidana di internet, apalagi dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu ketentuan undang-undang. 

Dari segi kepastian hukum, asas nullum delictum seharusnya dipegang teguh, akan tetapi dari sisi rasa keadilan tampaknya asas ini sering mengundang silang pendapat, apalagi dalam hal ini hakim dalam memeriksa perkara tidak menggunakan kewajibannya untuk menggali hukum (rechtsvinding) lantaran berpatokan pada asas pidana yang menekankan perlunya perumusan delik (kriminalisasi) terlebih dahulu.

Membentuk Lembaga Penanganan Khusus
Anda tentu tidak asing dengan Divisi Cyber Crime Mabes Polri. Nah, saat ini kita memerlukan lembaga khusus seperti itu untuk menangkal dan menyelidiki potensi terjadinya tindak kejahatan di ranah digital. Beberapa negara tercatat sudah mulai menerapkan konsep ini dengan membentuk lembaga khusus yang menangani persoalan kejahatan dunia maya (cyber crime), kendati demikian hal tersebut hanya akan efektif jika diterapkan oleh banyak negara, sehingga tidak ada celah bagi pelaku kejahatan dunia maya (cyber crime) dimanapun mereka berada.

Memperkuat Sistem
Pengamanan sistem menjadi benteng pertama yang bisa kita andalkan untuk menghindari potensi kejahatan dunia maya (cyber crime). Untuk mengamankan sistem secara mandiri Anda bisa menambahkan beberapa add ons seperti Sertifikat SSL pada website, anti virus komputer hingga melakukan pengamanan fisik pada jaringan untuk memproteksi server.

Kejahatan ini dilakukan dengan menggunakan peralatan komputer, telekomunikasi dan informasi, namun landasan hukum yang digunakan adalah KUHPidana yang belum memasukkan aturan hukum dengan aspek teknologi baru. Oleh sebab itu, untuk penegakan hukum terhadap kejahatan dunia maya atau cyber crime maka ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan, seperti membuat peraturan perundang-undangan baru atau menambah beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada dan menentukan yurisdiksinya (Saefullah Wiradipradja dan Danrivanto Budhijanto, 2002:91).

Di era globalisasi dan teknologi informasi membawa pengaruh terhadap munculnya berbagai bentuk kejahatan yang sifatnya baru seperti kejahatan dunia maya (cyber crime) yang merupakan suatu fenomena yang memerlukan penanggulangan secara cepat dan akurat. Perubahan terhadap beberapa ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mengatasi jenis kejahatan baru seperti kejahatan dunia maya (cyber crime).

Bagi Indonesia dengan sistem hukum yang berlaku (kontinental) kiranya lebih tepat bila pengaturan tetatang pemanfaatan teknologi informasi disusun dalam suatu undang-undang yang bersifat pokok, namun mencakup sebanyak mungkin permasalahan (umbrella provisions). Mernurut E. Saefullah Wiradipradja dan Danrivanto Budhijanto (2002:91) Indonesia perlu pengaturan atas kegiatan-kegiatan cyber space yang dilandasi oleh tiga pemikiran utama yaitu: 
  1. Adanya kepastian hukum bagi para pelaku kegiatan-kegiatan di cyber space mengingat belum terakomondasinya secara memadai dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada;
  2. Upaya untuk mengantisipasi implikasi-implikasi yang ditimbulkan akibat pemanfaatan teknologi informasi; dan
  3. Adanya variable global yaitu perdagangan bebas dan pasar terbuka.
Berkaitan dengan bentuk pengaturan di dalam cyber space, dapat ditinjau dari 2 (dua) pendekatan, yaitu: 
  1. Apakah perlu menciptakan norma-norma baru dan peraturan-peraturan khusus untuk kegiatan atau aktivitas di cyber space; atau
  2. Apakah cukup diterapkan model-model peraturan yang dikenal di dunia nyata (konvensional) saja. 
Apabila diterapkan begitu saja kedua pendekatan tadi, ternyata sangat sulit sekali untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam dunia nyata ke dalam dunia maya karena terdapat beberapa ketentuan hukum konvensional yang tidak dapat diterapkan atau sulit untuk diterapkan dalam kegiatan-kegiatan cyber space seperti tentang alat bukti, tandatangan, tempat atau domisili para pihak dalam kontrak. 

Oleh karena itu diperlukan ketentuan-ketentuan khusus dalam beberapa hal tertentu yang bersifat spesifik yang berlaku di cyber space. Untuk mengupayakan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan computerrelated offences sebagaimana menurut Andi Hamzah (1993:43) perlu dilakukan beberapa langkah antara lain :
  1. Penetapan perbuatan apa yang menjadi interest berbagai pihak;
  2. Penelitian mengenai apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat digunakan memproses kejahatan komputer dan siber;
  3. Identifikasi penyalahgunaan komputer dan siber yang melanggar kepentingan masyarakat;
  4. Identifikasi kepentingan masyarakat yang perlu dilindungi dalam kaitannya dengan penggunaan komputer, informasi dan telekomunikasi;
  5. Identifikasi dampak penetapan peraturan terhadap aspek sosial dan ekonomi.
Walaupun demikian, Andi Hamzah juga mengingatkan agar tidak terjadi over criminalization. Dalam rangka penegakan hukum terdapat perbedaan pendapat tentang perlu tidaknya membentuk peraturan perundang-undangan baru dengan merumuskan tindak atau perbuatan cyber crime. 

Ada yang berpendapat perlunya dibuat ketentuan khusus seperti Teuku M. Radie, J.E. Sahetapy, Mulya Lubis, Sudama Sastraanjoyo yang pada pokoknya memberi alasan bahwa hukum pidana yang ada tidak siap menghadapi kejahatan komputer untuk menghadapi white collar crime karena tindak pidana komputer adalah tindak pidana khusus oleh karena itu perlu hukum khusus untuk menanggulanginya. 

Pada saat pembuatan undang-undang yang berkaitan dengan cyber space juga perlu diperhatikan mengenai kompetensi pengadilan dalam menangani perkara kejahatan dunia mayat atau cyber crime. Mengenai yurisdiksi dalam kegiatan cyber space perlu diperhatikan sejauh manakah suatu negara memberi kewenangan kepada pengadilan untuk mengadili pelaku tindak pidana dalam kegiatan cyber space khususnya dalam pemanfaatan teknologi informasi. 

Menurut Darrel Munthe, yurisdiksi di cyber space membutuhkan prinsip-prinsip yang jelas dari hukum internasional dan hanya melalui prinsip-prinsip dalam yurisdiksi hukum internasional negara-negara dapat dibebankan untuk mengadopsi pemecahan yang sama terhadap yurisdiksi cyber space (Ny. Tien S. Saefullah, 2002:101). Dari pendapat ini dapat ditafsirkan bahwa dengan diakuinya prinsip-prinsip yurisdiksi yang berlaku dalam hukum internasional oleh setiap negara, maka akan mudah bagi negara-negara untuk mengadakan kerja sama dalam rangka harmonisasi ketentuan-ketentuan untuk menanggulangi kejahatan dunia maya atau cyber crime.

Dalam penggunaan cyber space, beberapa masalah dalam pembuktian akan timbul misalnya system digital signature yang berkaitan dengan hukum yang ada. Banyak negara mensyaratkan bahwa suatu transaksi harus disertai dengan bukti tertulis dengan pertimbangan untuk adanya kepastian hukum. Permasalahan yang akan terjadi bagaimana sebuah dokumen elektronik yang ditandatangani dengan "digital signature" dapatkah dikatagorikan sebagai bukti tertulis? Di Inggris, bukti tertulis haruslah berupa tulisan (typing), ketikan (printing), litografi (lithographi), fotografi atau bukti-bukti yang mempergunakan cara-cara lain yang dapat memperlihatkan atau mengolah kata-kata dalam bentuk yang terlihat secara kasat mata. 

Definisi dari bukti tertulis itu sendiri sudah diperluas hingga mencakup juga telex, telegram atau cara-cara lain dalam telekomunikasi yang menyediakan rekaman dari perjanjian. Indonesia sendiri dalam Pasal 26 A Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga telah memperluas pengertian tentang alat yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Dengan diperlakukannya berbagai perubahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional diharapkan sebagai akibat dari timbulnya berbagai perubahan dalam masyarakat akan berdampak pada pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Berbagai kasus pelanggaran hukum melalui media internet kini kerap terjadi di Indonesia, negeri yang merupakan negara hukum (recht staats), hal mana kelemahan hukum sering dijadikan kambing hitam sehingga banyak perbuatan pidana terlepas dari jerat hukum. 

Hukum itu sangat dinamis, hukum bukan barang mati dan tidak matematis. Soal kebenaran dalam hukum tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi kelompok karena hukum itu pada hakekatnya harus dapat merespons rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat. Hukum bukan hanya sekedar permainan pasal-pasal secara legalitas, akan tetapi hukum harus mengikat secara sosiologis. 

Apabila suatu aturan hukum belum ada, peran hakim harus diutamakan oleh sebab itu hakim tidak boleh bersikap pasif, melainkan hakim harus menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana terkandung dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana perubahan terakhir Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Demikian penjelasan singkat mengenai Penanggulangan Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime) di Indonesia yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: