BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Prinsip-Prinsip Dasar Mahkamah Internasional

Prinsip-Prinsip Dasar Mahkamah Internasional
Dalam pembahasan mengenai prinsip-prinsip dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional merupakan landasan yang dijadikan dalam menjalankan tugas dan fungsi dari Mahkamah Pidana Internasional itu sendiri. Menurut Boer Mauna (2005: 297-301) dalam bukunya Hukum Internasional; Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global memberikan beberapa prinsip dasar yang terdapat dalam Mahkamah Pidana Internasional, antara lain sebagai berikut:
  1. Prinsip Komplementer;
  2. Prinsip Penerimaan;
  3. Prinsip Otomatis (Automatic Principle);
  4. Prinsip Ratio Temporis (Yurisdiksi Temporal);
  5. Prinsip Nullum Crimen Sine Lege;
  6. Prinsip Nebis in Idem;
  7. Prinsip Ratio Loctie (yurisdiksi Teritorial);
  8. Prinsip Tanggung Jawab Pidana secara Individual;
  9. Prinsip Praduga tak bersalah (Presumption of Innocence); dan
  10. Prinsip Hak Veto Dewan Keamanan untuk menghentikan Penuntutan;
Prinsip Komplementer
Prinsip ini dijelaskan di dalam Mukadimah Statuta Roma tahun 1998, bahwa maksud dari prinsip ini adalah Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap dari yurisdiksi pidana nasional. Pasal 1 Statuta Roma tahun 1998 memberikan penjelasan mengenai prinsip komplementer (Complementary Principle). 

Berdasarkan hal tersebut merupakan pengakuan terhadap prinsip kedaulatan negara dan harapan masyarakat internasional agar sistem hukum nasional memuat pengaturan hukum untuk mengadili dan menghukum tindak pidana yang menjadi keprihatinan dan kesengsaraan dunia. Sehingga dengan terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional tidak bermaksud untuk menggantikan keberadaannya peranan yurisdiksi nasional yang berlaku di setiap negara.

Prinsip Penerimaan
Prinsip ini merupakan prinsip yang dimiliki oleh mahkamah dalam mengadili suatu perkara di bawah ruang tetap admissibility (masalah penerimaan perkara) yang tercantum di dalam Pasal 17 Statuta Roma tahun 1998. Hal tersebut merujuk pada hubungan antara sistem hukum nasional dan Mahkamah Pidana Internasional dalam menentukan suatu kasus dinyatakan tidak dapat diterima apabila :
  1. Perkaranya sedang diperiksa dan diadili oleh negara setempat kecuali negara tersebut tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan penyidikan atau penuntutan;
  2. Perkaranya telah diselidiki oleh negara setempat dan negara tersebut memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan terhadap orang yang bersangkutan, kecuali jika keputusan itu sebagai akibat dari ketidakmauan (unwilling) atau ketidakmampuan (unable) negara itu untuk sungguh-sungguh melakukan penuntutan
  3. Orang yang bersangkutan telah diadili untuk perbuatan yang sama dengan perbuatan yang menjadi dasar tuntutan mahkamah pidana internasional seperti yang disebutkan didalam Pasal 20 ayat (3) Statuta Roma tahun 1998; dan
  4. Kasusnya tidak cukup berat untuk memerlukan tindakan lebih lanjut dari Mahkamah Pidana Internasional
Prinsip Otomatis (Automatic Principle)
Menurut prinsip ini, pelaksanaan yurisdiksi mahkamah atas dasar tindakan tindakan pidana yang tercantum dalam Statuta Roma tahun 1998 dengan tidak memerlukan persetujuan dari negara-negara pihak yang bersangkutan. Semua negara secara langsung (otomatis) menerima yurisdiksi mahkamah atas semua kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah, yang demikian itu terdapat dalam paragraph 12 ayat (1) Statuta Roma tahun 1998. 

Sedangkan dalam Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma tahun 1998 menjelaskan bahwa mahkamah dapat menjalankan yurisdiksinya jika kejahatan terjadi di wilayah negara pihak-pihak dan orang yang melakukan kejahatan tersebut adalah warga negara dari negara anggota statuta tersebut. Kemudian bagi negara yang bukan anggota dari statuta ini, maka negara tersebut melalui suatu pernyataan dapat menerima pelaksaaan yurisdiksi mahkamah atas tindak pidana seperti yang diatur dalam Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma tahun 1998.

Prinsip Ratio Temporis (Yurisdiksi Temporal)
Maksud dari prinsip ini terkait waktu berlakunya Statuta Roma tahun 1998 tidak berlaku bagi kejahatan yang terjadi sebelum adanya Statuta ini. Bagi negara-negara yang menjadi anggota Statuta Roma tahun 1998 dinyatakan telah berlaku, mahkamah mempunyai yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya statuta bagi negara-negara anggota tersebut. 

Sebagai contoh, Negara Colombia meratifikasi Statuta Roma tahun 1998 pada tanggal 1 November 2000, sedangkan statuta tersebut mulai berlaku semenjak tanggal 1 Juli 2000. Oleh karena itu, mahkamah tidak boleh menuntut kejahatan-kejahatan yang terjadi di negara Colombia antara tanggal 1 Juli sampai dengan 1 November 2000. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24 Statuta Roma tahun 1998, bahwa seseorang tidak bertanggung jawab secara pidana untuk suatu tindakan sebelum berlakunya Statuta Roma tahun 1998 bagi negara yang bersangkutan. Inilah yang dinamakan prinsip non retroactive ratio personal.

Prinsip Nullum Crimen Sine Lege
Maksud dari prinsip ini terdapat di dalam Pasal 22 Statuta Roma tahun 1998 di bawah asas-asas umum dalam hukum pidana. Dijelaskan bahwa tidak seorangpun dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan statuta, kecuali tindakan tersebut waktu dilakukan merupakan suatu tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi dan kewenangan mahkamah. Selanjutnya prinsip nullum crimen sine lege diperjelas oleh Pasal 23 Statuta Roma tahun 1998 bahwa seseorang yang telah didakwa mahkamah hanya dapat dijatuhi pidana sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma tahun 1998.

Prinsip Nebis in Idem
Prinsip ini terdapat dalam Pasal 20 Statuta Roma tahun 1998 bahwa seseorang tidak dapat dituntut lagi oleh mahkamah atas tindak pidana yang sama yang telah diputuskan atau dibebaskan oleh mahkamah. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat diadili lagi oleh mahkamah atau pengadilan lain untuk suatu tindak pidana yang sama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 Statuta Roma tahun 1998, dimana tindak pidana itu telah diputuskan dengan putusan pidana atau dibebaskan oleh mahkamah.  

Prinsip Ratio Loctie (yurisdiksi Teritorial)
Prinsip ini merupakan prinsip bagi mahkamah yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan di wilayah negara-negara anggota tanpa memandang kewarganegaraan dari pelaku. Prinsip umum ini diatur didalam Pasal 12 ayat (2) butir (a) Statuta Roma tahun 1998. Mahkamah mempunyai yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan yang menerima yurisdiksinya atas ad hoc dan wilayah yang ditunjuk oleh Dewan Keamanan.

Prinsip Tanggung Jawab Pidana secara Individual
Menurut Pasal 25 Statuta Roma tahun 1998, mahkamah mempunyai yurisdiksi atas individu sebagai natural person. Seseorang yang melakukan tindak pidana di wilayah yurisdiksi mahkamah bertanggung jawab secara pribadi dan dapat dihukum sesuai isi dalam Statuta Roma tahun 1998. 

Ketentuan ini merupakan pencerminan untuk mengadili dan menghukum individu dan bukan negara. Kejahatan terhadap hukum internasional dilakukan oleh individu dan bukan entitas yang abstrak. Hanya dengan menghukum individu yang melakukan kejahatan, hukum internasional dapat ditegakkan seperti kasus yang terjadi dan diadili oleh Pengadilan Nuremberg tahun 1946.

Prinsip Praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) 
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa setiap orang harus dianggap tidak bersalah sampai dengan terdapatnya putusan dari pengadilan bawah mereka terbukti dan dinyatakan bersalah. Diatur dalam Pasal 66 Statuta Roma tahun 1998 yang menyatakan setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah dihadapan mahkamah sesuai dengan hukum yang berlaku. Beban pembuktian dan tanggung jawab terdapat kepada Jaksa Penuntutan yang akan membuktikan terdakwa bersalah. 

Prinsip Hak Veto Dewan Keamanan untuk menghentikan Penuntutan
Prinsip ini merupakan hak yang dimiliki oleh Dewan Keamanan (Security Council) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk dapat mencegah mahkamah dalam melaksanakan yurisdiksinya sesuai dengan Pasal 16 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Menurut pasal tersebut bahwa tidak ada penyidikan atau penuntutan yang dapat dimulai atau dilaksanakan sesuai statuta untuk jangka waktu 12 bulan setelah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam resolusinya yang dibuat menurut Bab VII Piagam meminta mahkamah untuk menangguhkan penyidikan atau penuntutan. 

Permintaan tersebut dapat diperbaharui oleh Dewan dalam keadaan yang sama. Inilah yang dinamakan prinsip defferal atau penangguhan yang dapat diperbaharui. Kebijaksanaan ini dalam praktiknya bisa saja terjadi berlangsung terus menerus. Namun, meskipun permintaan defferal oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat diperbaharui atau diulangi kembali, terdapat kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan politik dan berkurangnya unaminitas atau keseragaman pendapat di kalangan negara anggota tetap yang mempunyai hak veto sehingga hal tersebut tidak memungkinkan tercapainya lagi konsensus untuk mengajukan defferal kembali.

Demikian penjelasan singkat mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Mahkamah Internasional (International Criminal Court) yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: