BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Aliran Utilitiarinism Pada Filsafat Hukum

Aliran Utilitarianisme Pada Filsafat Hukum
Pelopor dari utilitarianisme adalah Jeremy Bentham (1748-1832), seorang filosof dan ahli hukum Inggris. Utilitarianisme adalah filsafat yang menekankan pada manfaat berupa meningkatnya kesenangan (pleasure). Oleh karenanya, ada juga yang menyebut aliran ini dengan suatu istilah yang negatif, yaitu hedonisme atau mementingkan kesenangan. Utilitarianisme merupakan etika konsekuensi (consequences), yaitu menekankan pada konsekuensi yang terjadi, yaitu apakah konsekuensinya benarbenar membawa kesenangan ataukah tidak. Utilitarisme mengabaikan maksud (intentions). Sekalipun maksudnya untuk meningkatkan kesenangan tetapi konsekuensinya tidak, maka ini tidak sesuai dengan prinsip kemanfaatan. Pandangan dasar utilitarianisme, menurut Lawrence M. Hinman, yaitu:
  1. The purpose of morality is to make the world a better place yang artinya tujuan moralitas adalah untuk membuat dunia menjadi suatu tempat yang lebih baik;
  2. Morality is about producing good consequences, not having good intentions yang artinya Moralitas adalah tentang menghasilkan konsekuensikonsekuensi yang baik, bukan hanya sekedar memiliki niat-niat yang baik saja;
  3. We should do whatever will bring the most benefit (i.e., intrinsic value) to all of humanity yang artinya Kita seharusnya melakukan apapun yang akan menghasilkan yang paling bermanfaat, yaitu nilai yang sesungguhnya, untuk semua manusia. 
Jeremy Bentham dalam An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, 1823, memulai bukunya ini dengan kata-kata sebagai berikut: 
"Alam telah menempatkan manusia di bawah pengaturan oleh dua tuan yang berkuasa, yaitu susah (pain) dan senang (pleasure). Hanya kepada dua hal ini ditunjuk apa yang seharusnya kita lakukan, sebagaimana juga dalam menentukan apa yang akan kita lakukan. Di satu pihak, standar benar dan salah, dan di lain pihak mata rantai sebab dan akibat, terikat pada dua tuan itu. Mereka mengatur kita dalam semua yang kita lakukan, dalam semua yang kita katakan, dan dalam semua yang kita pikirkan ... Asas manfaat (the principle of utility) mengakui pokok ini, dan menempatkannya sebagai dasar dari sistem ..."
Dalam kutipan di atas Jeremy Bentham berpendapat bahwa susah (pain) dan senang (pleasure) merupakan 2 (dua) hal yang menguasai kehidupan manusia. Dari sini Bentham mengemukakan asas manfaat dalam hukum, di mana hukum seharusnya meningkatkan kesenangan (pleasure) dan meminimalkan kesusahan (pain). Berdasarkan asas ini Bentham memandang bahwa tujuan hukum adalah untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya dari jumlah orang sebanyak-banyaknya (the greatest happiness of the greatest number). Untuk itu oleh Bentham dikatakan "That the greatest happiness of the greatest number is the foundation of morals and legislation" (Kebahagiaan sebesar-besarnya dari jumlah orang sebanyak-banyaknya adalah dasar dari moral dan perundang-undangan).

Lawrence M. Hinman, University of San Diego dalam presentasinya menyimpulkan: 
“Utilitarianism is most appropriate for policy decisions, as long as a strong notion of fundamental human rights guarantees that it will not violate rights of small minorities.” 

Terjemahan bebas: 

Utilitarianisme adalah paling tepat untuk putusan-putusan kebijakan, sepanjang ada pemahaman yang kuat atas jaminan hak-hak asasi manusia yang mendasar yang tidak akan melanggar hak-hak dari minoritas yang kecil.
Kritik ini diajukan karena jika kepentingan banyak orang atau mayoritas yang dipentingkan maka kepentingan orang yang lebih sedikit atau minoritas akan cenderung diabaikan. Karenanya, ajaran ini perlu didampingi oleh pemahaman akan hak-hak asasi manusia (human rights) yang melindungi kepentingan minoritas. Beberapa tokoh lainnya dari utilitarianisme akan dikemukakan bersamasama dengan Jeremy Bentham sehubungan dengan perbedaan mereka tentang tujuan atau nilai sesungguhnya (intrinsic value) dari asas manfaat.

Pemikiran John Stuart Mill yang merupakan pendukun aliran ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Positivisme dari Auguste Comte, namun Mill tidak setuju dengan Comte yang berpendapat bahwa psikologi bukanlah ilmu. Pemikiran Mill banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan, dimana kebahagiaan tersebut diperoleh melalui hal-hal yang membangkitkan nafsu manusia. Sehingga apa yang ingin dicapai oleh manusia bukanlah benda atau sesuatu hal tertentu tetapi kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya.

Mill memandang psikologi sebagai ilmu yang paling fundamental. Melalui psikologi kita dapat mempelajari penginderaan-pengindraan (sensations) dan cara susunannya. Susunan penginderaan tersebut terjadi menurut asosiasi, dalam hal inilah psikologi berperan untuk memperlihatkan bagaimana asosiasi antara penginderaan yang satu dengan penginderaan yang lain diadakan menurut hukum-hukum yang tetap. Itulah sebabnya Mill berpendapat bahwa psikologi adalah dasar bagi semua ilmu lain, termasuk logika.

Mill berperan penting dalam menyelidiki hubungan antara keadilan, kegunaan, kepentingan individu dan kepentingan umum. Ia menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada intinya perasaan individu mengenai keadilan akan membuat individu tersebut menyesal dan ingin membalas dendam kepada hal-hal yang tidak menyenangkannya. 

Rasa sesal dan keinginannya tersebut dapat diperbaiki dengan perasaan sosial. Sehingga orang-orang yang baik akan menyesalkan tindakannya yang tidak baik terhadap masyarakat, meskipun hal itu tidak berkaitan dengan dirinya sendiri. 

Orang-orang yang baik juga tidak akan menyesalkan perbuatan tidak baik terhadap dirinya, sekalipun hal tersebut menimbulkan rasa sakit, kecuali apabila masyarakat bermaksud menindasnya. Hal inilah yang digambarkan sebagai ungkapan dari rasa adil.

Selanjutnya ajaran Rudolf von Jhering yang merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Positivisme Hukum yang diajarkan oleh John Austin. Teori yang diajarkan oleh Jhering ini merupakan ajaran yang bersifat sosial.

Pada awalnya Jhering menganut Mazhab Sejarah yang dikembangkan oleh Friedrich Karl von Savigny dan Puchta, namun lama kelamaan ia memiliki pandangan yang berlawanan dengan Savigny. Seluruh hukum Romawi menurut Savigny merupakan pernyataan jiwa bangsa Romawi sehingga merupakan hukum nasional. 

Pendapat tersebut kemudian dibantah oleh Jhering dengan mengemukakan bahwa seperti dalam hidup sebagai perkembangan biologis yang senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya, demikian pula dalam bidang kebudayaan dimana melalui pergaulan antar bangsa terdapat asimilasi pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan.

Menurut Jhering lapisan tertua hukum Romawi memang bersifat nasional tetapi pada perkembangannya hukum Romawi mendapat ciri-ciri universal melalui asimilasi dengan hukum lain sehingga hukum Romawi yang pada awalnya bersifat nasional kemudian berkembang menjadi hukum universal. 

Ia memiliki pandangan bahwa hukum Romawi dapat digunakan sebagai dasar bagi hukum jerman karena hukum Romawi dalam perkembangannya sudah berhadapan dengan banyak aturan hidup lain. Jhering juga memandang bahwa tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang berupa mengejar kesenangan dan menghindari penderitaan. Dalam hal ini kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.

Demikian penjelasan singkat mengenai Aliran Manfaat atau Utilitiarinism pada Filsafat Hukum yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan tulisan ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk menjadikan kami lebih lagi dalam menerbitkan artikel baru. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: