BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Aliran Positivisme Hukum Pada Filsafat Hukum

Aliran Positivisme Hukum Pada Filsafat Hukum
Latar belakang dari aliran Positivisme Hukum (Legal Positivism) adalah filsafat Positivisme yang dikembangkan oleh Auguste Comte (1798 - 1857), sosiolog pertama yang juga dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Positivisme adalah filsafat bahwa pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman (experience) dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method). Pandangan bahwa pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman (experience) atau empirisme yang sudah dikenal sebelumnya sejak abad 17. John Locke (1632 - 1704) adalah orang yang pertama kali merumuskan secara sistematis tentang empirisme. Tetapi, Auguste Comte memberikan tambahan dengan menekankan pada penggunaan metode ilmiah dalam empirisme. Menurut Comte, semua ilmu berkembang menurut 3 (tiga) tahap yang disebutnya hukum tiga tahap (law of three phases), yaitu : 
  1. Tahap bersifat theologi (Theological), yaitu semuanya mengacu pada Tuhan. Untuk tahap ini Comte menunjuk pada masa sebelum Revolusi Perancis 1789'
  2. Fase bersifat metafisika (Metaphysical), yaitu penjelasan - penjelasan spekulatif berdasarkan penalaran (reasoning) tetapi belum ada pembuktian yang solid. Untuk tahap ini Comte menunjuk pada periode awal dari masa sesudah Revolusi Perancis, di mana orang - orang percaya pada konsep - konsep seperti hak - hak manusia (de droit d‟homme). Hak - hak seperti hak asasi manusia tidak dapat dibuktikan secara ilmiah;
  3. Fase bersifat positif atau ilmiah (Scientific), yaitu fase di mana pengetahuan diperoleh melalui metode ilmiah. Positivisme jelas menolak spekulasi metafisika seperti yang teredapat dalam teori hukum alam.
Pandangan dasar Positivisme Hukum, yaitu hukum tidak lain daripada hukum yang dibuat oleh manusia. Dengan ini, positivisme hukum menentang pandangan metafisika dari teori hukum alam. Apabila aliran hukum sebelumnya menganggap penting hubungan antara hukum dan moral, maka aliran hukum positif justru menganggap bahwa kedua hal tersebut merupakan dua hal yang harus dipisahkan (Soerjono Soekanto, 1980 : 37).

Pelopor dari aliran (madzab) filsafat hukum ini, menurut banyak penulis sebenarnya adalah Jeremy Bentham (1748 - 1832), ahli hukum dan filosof Inggris. Tetapi, walaupun Bentham banyak menulis, beberapa di antaranya di mana salah satu yang terpenting tentang Positivisme Hukum yaitu The Limits of Jurisprudence Defined yang dipublikasi tahun 1945. Karenanya, muridnya, John Austin, yang lebih dikenal sebagai pelopor Positivisme Hukum. Dalam aliran Positivisme Hukum ini adanya 3 (tiga) teori yang terkenal, yaitu :
  1. Teori perintah (command theory) atau ilmu hukum analitis (analytical jurisprudence) yang pendasarnya adalah John Austin (1790 - 1850);
  2. Teori hukum murni (pure science of law, reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen (1881 - 1973); dan
  3. Teori positivisme hukum dengan isi yang minimum dari hukum alam yang dikemukakan oleh H. L. A. Hart.
Teori Perintah dari John Austin 
Pandangan Bentham dan Austin merupakan reaksi terhadap teori hukum alam (natural law theory), khususnya teori hukum alam dari para tokoh gereja yang mengajarkan bahwa Tuhan telah menuliskan hukum dalam akal (ratio) manusia. Menurut mereka teori tersebut telah menimbulkan banyak tafsiran - tafsiran yang sangat ruwet dalam hukum Inggris. 

Menurut Austin, hukum positif (positive law) adalah perintah dari yang berdaulat (command of the sovereignty). Karenanya teori Austin dinamakan teori perintah (command theory). Berdasarkan teori ini Austin menyatakan bahwa apa yang disebut hukum internasional dan hukum kebiasaan (customary law) bukanlah hukum positif karena tidak bersumberkan pada perintah dari yang berdaulat. Hukum internasional dan hukum kebiasaan hanyalah moralitas positif (positive morality) saja. John Austin membagi hukum dalam arti luas atas :
  1. Hukum ciptaan Tuhan; dan
  2. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri atas : 
    • Hukum dalam arti yang sebenarnya atau hukum untuk disebut hukum. Jenis hukum ini disebut juga sebagai hukum positif (positive law). Hukum yang sesungguhnya ini terdiri atas (Lilli Rasjidi,1984 : 41): 
      • Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang - undang, peraturan pemerintah, dan lain - lain; 
      • Hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara individual yang dipergunakan untuk melaksanakan hak - hak yang diberikan kepadanya. Contohnya hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian, hak kurator terhadap badan atau orang dalam curatele
    • Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa atau badan berdaulat yang berwenang. Contohnya, ketentuan - ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan - perkumpulan atau badan - badan tertentu dalam bidang keolahragaan, mahasiswa, dan sebagainya (Soerjono Soekanto, 1980 : 38 - 39).
Penting diperhatikan bahwa John Austin membedakan secara tajam antara : 
  1. Jurisprudence (ilmu hukum) yang mempelajari hukum sebagaimana adanya saja, dalam hal ini mempelajari hukum positif (positive law); dan
  2. Science of legislation (ilmu perundang - undangan) yang mempelajari bentuk - bentuk ideal dari hukum yang berdasarkan pada asas manfaat (utility).
Menurut John Austin, hukum positif merupakan suatu sistem logis yang tertutup (closed logical system). Oleh karenanya, penerapan hukum positif terhadap kasus - kasus konkrit adalah dengan menggunakan metode deduksi. Austin menekankan, berdasarkan teori perintahnya, bahwa dalam menjalankan deduksi, hakim tidak boleh menilai isi peraturan dari segi moralitas, keadilan, dan sebagainya. Jika hakim tidak melaksanakan suatu hukum positif karena hakim memandangnya bertentangan dengan hukum alam (natural law) misalnya, maka menurut Austin akan menyebabkan anarkhi. 

Teori Hukum Murni dari Hans Kelsen
Pelopor teori hukum murni (Jer.: reine Rechtslehre; Ingg.: pure theory of law) adalah Hans Kelsen. Menurut Kelsen, ajarannya merupakan reaksi terhadap perkembangan ilmu hukum yang sudah hampir sama dengan ilmu - ilmu sosial sehingga dengan ajarannya Kelsen bermaksud memisahkan antara ilmu hukum dengan ilmu sosial. Latar belakang pribadi Kelsen sendiri, seorang Austria, yaitu masa mudanya hidup di bawah pemerintahan monarki ganda Austria - Hongaria (1867 - 1918). Dalam negara yang demikian labil, hukum itulah yang harus merupakan alat pengikat yang terpenting, demikian pemikiran Kelsen. Hukum itu harus merupakan hukum yang dapat berlaku bagi orang Kristen dan Islam, orang Turki dan Yunani - Katolik, Yahudi dan Protestan.

Hukum adalah suatu sistem dari peraturan-peraturan (a system of rules), yang berisi apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan. Peraturan - peraturan (rules) itu sendiri merupakan "Wille des Staates" (kehendak negara). Menurut Kelsen, sebagaimana ahli matematika tidak menghiraukan apakah hasil pekerjaannya akan digunakan membuat jembatan atau menciptakan suatu sistem untuk menebak rolet di Monte Carlo, demikian pula ahli hukum hanya perlu memperhatikan hukum sebagai norma murni.

Menurut Kelsen, metode ilmu hukum dalam mengkaji atau menerapkan kaidah harus dibersihkan dari unsur - unsur yang tidak relevan seperti politik, sosiologi, etika, keyakinan agama, dan sebagainya. Metode antara lain didasarkan pada adanya tata urutan peraturan perundang - undangan (Stufenbau der Rechtsordnung). Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistim yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya akan semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi yang menduduki puncak piramida disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar) atau Ursprungnorm. Sehubungan dengan itu ada fungsi khusus dari norma yang bersifat derogation (menyampingkan, membatalkan) terhadap norma yang lain. Untuk itu dikenal beberapa asas :
  1. Lex superioir derogat legi inferiori;
  2. Lex specialis derogat legi generali; dan
  3. Lex posterior derogat legi priori.
Teori Positivisme Hukum dari H. L. A. Hart
Teori Herbert Lionel Adolphus Hart (1907 - 1992) dinamakan Teori Positivisme Hukum dengan Isi Minimum dari Hukum Alam (the minimum content of natural law). Walaupun Hart termasuk penganut Positivisme Hukum tetapi Hart menerima adanya bagian tertentu dari Hukum Alam, walaupun hanya secara minimum sehingga ada yang mengatakan bahwa teori Hart juga merupakan kebangkitan kembali dari Teori Hukum Alam. Hart mengemukakan 5 (lima) arti dari Positivisme Hukum, yaitu: 
  1. Anggapan bahwa undang - undang adalah perintah - perintah manusia;
  2. Anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dan yang seharusnya ada;
  3. Anggapan bahwa analisis (studi tentang arti) dari konsepsi - konsepsi hukum layak dilanjutkan dan harus dibedakan dari penelitian - penelitian historis mengenai sebab - sebab atau asal usul dari undang - undang dari penelitian - penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya dan kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral atau sebaliknya;
  4. Anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup, artinya putusan - putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan dengan cara - cara yang logis dari peraturan - peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan - tuntutan sosial, kebijaksanaan, norma-norma moral; dan
  5. Anggapan bahwa penilaian - penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti halnya dengan pernyataan - pernyataan tentang fakta dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau bukti.
Walaupun demikian, H. L. A. Hart menerima masuknya hukum alam sekalipun hanya bersifat minimum. Apa yang diterima oleh Hart adalah hal yang dipandangnya merupakan inti (core) dari hukum alam. Menurut Hart, makluk manusia secara kolektif dan individu - individu yang membentuk spesis ini memiliki keinginan untuk bertahan hidup (survive) (McLeod, 2007: 85). Nilai untuk bertahan hidup (survive) merupakan nilai dari hukum alam yang oleh Hart dipandang sebagai nilai yang diakui secara universal untuk peraturan - peraturan tingkah laku dari makhluk manusia.

Dalam membicarakan teori hukum alam, hal ini telah disinggung sebagai kebangkitan kembali teori hukum alam. Walaupun kebangkitan kembali ini tidak secara penuh, tetapi bagaimanapun di dalam teori ini H. L. A. Hart ada pengakuan tentang nilai penting dari teori hukum alam.

Demikian penjelasan singkat mengenai Aliran Positivisme pada Filsafat Hukum yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan tulisan ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.

Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: