BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Aliran Sosiologis pada Filsafat Hukum

Aliran Sosiologis pada Filsafat Hukum
Awal abad 20 merupakan masa lahirnya pandangan-pandangan hukum yang memanfaatkan temuan-temuan dalam sosiologi. Roscoe Pound (1870-1964) adalah pelopor dari aliran sosiologis. Pandangannya dikenal sebagai ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence) yang berpengaruh besar sampai sekarang. Roscoe Pound dalam The Task of Law (1943) menulis bahwa sarjana-sarjana hukum abad 18 yang memahamkan hukum sebagai perumusan akal dan sarjana-sarjana hukum dari aliran historis yang memahamkan hukum sebagai perumusan pengalaman telah melakukan kekhilafan karena tidak melihat keseluruhannya. Hukum itu akal tetapi juga pengalaman. Pengalaman yang yang dikembangkan oleh akal dan akal yang diuji oleh pengalaman.

Dengan demikian, Pound melihat bahwa aliran positivisme hukum abad 18 yang berakar pada rasionalisme (tesis) dan aliran sejarah dari abad 19 yang berakar pada empirisme (antitesis), masing-masing berat sebelah, sehingga diperlukan aliran yang memahami hukum sebagai akal dan juga pengalaman (sintesis). Selanjutnya Pound mengemukakan pandangan yang dikenal ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence).

Perlu diperhatikan bahwa hendaknya dibedakan antara sociological jurisprudence dengan apa yang dikenal dengan sosiologi hukum. Perbedaannya adalah sociological jurisprudence merupakan aliran dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut di samping juga diselidiki sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat. Yang terpenting adalah bahwa sociological jurisprudence cara pendekatannya bermula dari hukum ke masyarakat sedang sosilogi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum (Lill Rasjidi, 1990: 47).

Roscoe Pound memperhatikan hukum sebagai proses. Pound terutama memperhatikan cara bagaimana hukum berkembang. Ia tidak menaruh perhatian pada analisis dan penafsiran terhadap rumusan dalam peraturan dan putusan pengadilan, melainkan pada hubungan antara hukum dan masyarakat dan bagaimana hubungan ini mengarahkan atau gagal mengarahkan pada pembaruan hukum. Pembaruan hukum itu terjadi melalui adanya konflik-konflik antara kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Untuk itu Pound mengemukakan adanya 3 (tiga) kelompok kepentingan dalam masyarakat, yaitu:
  1. Individual
    Kepentingan individual (individual interests) adalah tuntutan, kebutuhan, atau keinginan yang segera muncul dalam kehidupan individual dan berkenaan dengan kehidupan individual.
  2. Publik
    Kepentingan publik (public interests) adalah tuntutan, kebutuhan, atau keinginan dari suatu masyarakat yang terorganisasi secara politik dan berkenaan dengan kehidupan dari organisasi tersebut. Kepentingan-kepentingan publik ini umumnya dilihat sebagai tuntutan-tuntutan dari suatu masyarakat yang terorganisasi secara politik dipandang sebagai suatu badan hukum. Banyak dari kepentingan ini secara konvensional diklasifikasi sebagai berkenaan dengan hukum pidana.
  3. Sosial 
    Kepentingan masyarakat (society interests) adalah tuntutan, kebutuhan, atau keinginan dalam kehidupan sosial dari masyarakat sipil dan berkenaan dengan kehidupan dari masyarakat sipil tersebut. Ini biasanya dipandang sebagai tuntutan-tuntutan dari kelompok sosial sebagai suatu kelompok sosial. Kepentingan ini dapat berupa antara lain kepentingan untuk lingkungan hidup yang lebih baik.
Dengan demikian, Pound mengkaji masalah-masalah hukum dari sudut pandang konflik, yaitu adanya konflik kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Hukum merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang saling bertentangan. Sehubungan dengan ini terkenal ungkapan Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). Hukum sebagai suatu alat rekayasa masyarakat, merupakan proses sehari-hari dalam masyarakat, di mana hubungan-hubungan dan konflik-konflik kepentingan dalam masyarakat akan dengan sendirinya melahirkan hukum yang lebih baik. Rekayasa masyarakat hanya semata-mata berarti bahwa hukum terbentuk sesuai dengan tujuan-tujuan sosial, tetapi rekayasa masyarakat tidak merumuskan tujuan-tujuan khusus ataupun cara-cara khusus untuk mencapainya.

Hukum Sebagai Sarana Pembangunan adalah pandangan yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Pandangan ini dapat dikatakan merupakan salah satu variant dari law as a tool of social engineering dari Pound. Dalam hukum sebagai sarana pembangunan, undang-undang memegang peran penting untuk mengarahkan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.

Pandangan tentang hukum responsif (responsive law) merupakan salah satu teori bersifat sosiologis tentang hukum. Dengan demikian, apa yang dinamakan aliran sosiologis mencakup banyak ragam seperti sociological jurisprudence, gerakan realisme hukum, teori hukum kritis dan teori hukum responsif. Salah satu paham yang dekat dengan Kajian Hukum Kritis adalah teori Hukum Responsif (Responsive Law). Teori ini berawal pada tahun 1978 ketika diterbitkan buku Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law & Society in Transition: Toward Responsive Law. Dalam teori yang dikemukakan dalam buku ini Nonet dan Selznick mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum. Nonet dan Selznick membedakan 3 (tiga) tipe hukum, yaitu: 
  1. Hukum Represif
    Karakteristik hukum represif adalah bahwa hukum disubordinasikan di bawah kekuasaan politik (Law is subordinated to power politics).
  2. Hukum Otonom 
    Dalam hukum otonom, hukum independent dari politik dan berusaha menahan diri dari kekuasaan politik. Pengertian ini dikenal sebagai rule of law. Pengadilan merupakan lembaga yang terpisah dari wilayah politik. Pemerintah sendiri terikat pada peraturan-peraturan hukum.
  3. Hukum Responsif 
    Hukum responsif adalah hukum sebagai fasilitator respons terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (law is a facilitator of response to social needs and aspirations) di mana hukum itu harus mencari keadilan substantif (substantive justice).
Pembedaan tipologi hukum ini berdasarkan pada pengakuan bahwa hukum dirumuskan oleh hubungannya dengan kekuasaan politik (recognition that law is defined by its relationship to political power). Jadi tipologi hukum ini didasarkan pada bagaimana pandangan kekuasaan politik tentang hukum. Dalam hubungannya dengan respons atas dilema antara integritas dan keterbukaan, tipologi hukum dijelaskan sebagai berikut: 
  1. Hukum represif yang ditandai dengan adaptasi yang pasif dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan politik. Tipe hukum ini merupakan pelayan dari kekuasaan represif dan merupakan hukum yang sarat dengan sanksi;
  2. Hukum otonom yang merupakan suatu reaksi yang menentang keterbukaan yang serampangan. Perhatian utamanya adalah bagaimana menjaga integritas institusional. Tipe hukum ini menjinakkan represi dan tumbuh dengan komitmen untuk memerintah berdasarkan peraturan. Gagasan bahwa prosedur merupakan jantung dari hukum menempati posisi penting. Dalam hal ini, Nonet dan Selznick menyinggung mengenai hukum Amerika Serikat yang menekankan pada sistem due proceess of law (proses hukum yang layak), di mana proses lebih diutamakan daripada pencarian kebenaran material. Dalam sistem ini, bukti yang diperoleh dengan cara tidak sah tidak dapat digunakan di pengadilan;
  3. Hukum responsif yang memiliki kapasitas beradaptasi yang bertanggung jawab dan dengan demikian adaptasi yang selektif dan tidak serampangan. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan.
Robert A. Kagan dalam kata pengantar terbitan 2003 dari buku ini mengemukakan kritik Oleh karenanya, berdasarkan buku Law and Society in Transition, hukum responsif merupakan suatu model pelaksanaan pemerintahan yang berisiko tinggi. Dengan menjadi hukum lebih fleksibel dan politis, hukum responsif membawa risiko pembuatan hukum yang terlalu lunak, mengikis otoritas hukum dan menghilangkan legitimasi lembaga-lembaga hukum. Nonet dan Selznick menekankan pada kompetensi pejabat-pejabat hukum, kapasitas mereka untuk mengembangkan metode-metode baru untuk mengukur kebutuhan-kebutuhan sosial dan untuk menemukan solusi-solusi hukum yang dapat diterima oleh masyarakat.
"(For that reason, Law and Society in Transition acknowledges, responsive law is a "high risk‟ mode of governance. By making the law more flexible and political, it runs the risk of making the law too malleable, eroding its authority and delegitimating legal institutions. ... Nonet and Selznick emphasize, on the competence of legal officials, their capacity to develop new institutional methods for gauging social needs and to devise, politically feasible, and socially acceptable legal remedies)."
Robert A. Kagan memberikan kritik terhadap metode teori hukum responsif yang menekankan pada kompetensi dan kapasitas pejabat hukum untuk menyesuaikan peraturan dengan kebutuhan masyarakat. Ini disebut oleh Kagan sebagai model pelaksanaan pemerintahan yang berisiko tinggi.

Demikian penjelasan singkat mengenai Aliran Sosiologis pada Filsafat Hukum yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan tulisan ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: