BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Hubungan Hukum dan Nilai Sosial Budaya

Hubungan Hukum dan Nilai Sosial Budaya
Antara hukum di satu pihak dengan nilai-nilai sosial budaya di lain pihak terdapat kaitan erat. Hal ini telah dibuktikan berkat penyelidikan beberapa antropologi hukum baik bersifat perintis seperti Sir Henry Maine, AM Post dan Yosef Kohler maupun Malinowski. Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja: 8, Soerjono Sukanto, 1977: 20).

Indonesia masa kini berada pada masa transisi yaitu sedang terjadi perubahan nilai-nilai dalam masyarakat dari nilai-nilai yang bersifat tradisional ke nilai-nilai modern. Namun masih terjadi persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai mana yang akan menggantikannya. Sudah barang tentu dalam proses perubahan ini akan banyak dihadapi hambatan-hambatan yang kadang-kadang akan menimbulkan keresahan-keresahan maupun kegoncangan di dalam masyarakat. 

Mochtar Kusumaatmadja misalnya, mengemukakan beberapa hambatan utama seperti jika yang akan diubah itu identik dengan kepribadian nasional, sikap golongan intelektual dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai-nilai yang dianjurkan disamping sifat heterogenitas bangsa Indonesia, yang baik tingkat kemajuannya, agama serta bahasanya berbeda satu sama lainnya.

Pemikiran tentang hukum sebagai pembaruan dalam masyarakat berasal dari Roscue Pound dalam bukunya An Introduction to the Philosophy of Law, 1954. Sesuai kondisi dan situasi di Indonesia konsepsi "Law as a tool of social engineering" yang menjadi inti pemikiran dari aliran Pragmatic Legal Realism itu oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di Indonesia melalui Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan lingkungannya dari pada di Amerika Serikat tempat kelahirannya. Alasannya, oleh karena lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaruan hukum di Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme daripada konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham legisme yang banyak ditentang di Indonesia. Itulah sebabnya mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung menggnakan istilah sarana daripada alat.

Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaruan dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, di Indonesia yang paling menonjol adalah perundang-undangan. Yurisprudensi juga berperan, namun tidak seberapa. Lain halnya di negara-negara yang menganut sistem presedent, sudah barang tentu peranan yurisprudensi akan jauh lebih penting.

Agar supaya dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaruan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran Sociological Juriprudence yaitu hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan dan akan mendapat tantangan-tantangan. Beberapa contoh perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana pembaruan dalam arti merubah sikap mental masyarakat tradisional ke arah modern, misalnya:
  1. Pengayauan di Daerah Kalimantan;
  2. Penggunaan koteka di Daerah Papua;
  3. Pembuatan sertipikat tanah; 
  4. Dan lain sebagainya terutama di bidang penanaman modal asing, hukum dagang dan hukum perdata lainnya yang bukan hukum perdata keluarga yang masih dianggap sensitif sifatnya.
Bahwa upaya-upaya pembentukan dan pembaruan hukum tersebut agar senantiasa memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, baik nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, maupun nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, diharapkan produk hukum yang dihasilkan juga akan mendapatkan kekuatan berlaku secara filosofis (filosofische Geltung), sosiologis (soziologische Geltung) dan yuridis (juristische Geltung) (Darji Darmodiharjo, Shidarta, 1995: 227).

Demikian penjelasan singkat mengenai Hubungan Hukum dan Nilai Sosial Budaya yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: