BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Pengertian Gugatan dan Pejabat Tata Usaha Negara

Pengertian Gugatan dan Pejabat Tata Usaha Negara
Gugatan Tata Usaha Negara
Dalam ketentuan yang dimuat dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diuraikan bahwa Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan.

Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dilakukan oleh Orang atau Badan Hukum Perdata seperti yang diuraikan dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.

Dalam pengajuan gugatan juga dapat dilakukan dengan beberapa alasan. Saat sebelum perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hal mana terdapat 3 (tiga) alasan untuk dapat menggugat sebagaimana diuraikan dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) yaitu sebagai berikut:
  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
  2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangannya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
  3. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
Mengenai alasan gugatan ini, Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa alasan menggugat pada dasarnya adalah persoalan keabsahan (rechtsmatigheid) dari suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Keabsahan itu menyangkut wewenang, prosedur dan substansial (Philipus M. Hadjon, dkk. "Pengantar Administrasi ……", hlm. 330). 

3 (tiga) hal tersebut diukur dengan peraturan tertulis dan/ atau Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Dengan demikian sebetulnya alasan menggugat itu cukup 2 (dua) alasan, yaitu:
  1. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
  2. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).
Setelah diadakan perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka ada 2 (dua) alasan pokok untuk menggugat suatu Keputusan Tata Usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004, hal mana alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu sebagai berikut:
  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik. 
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik setelah adanya revisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 telah diakui sebagai salah satu alasan untuk menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Di dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 dan juga sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dapat diketahui bahwa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik tersebut, meliputi:
  1. Asas Kepastian;
  2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
  3. Asas Kepentingan Umum;
  4. Aeas Keterbukaan; 
  5. Asas Proporsionalitas;
  6. Aeas Profesionalitas; 
  7. Asas Akuntabilitas; dan
  8. Asas Praduga Rechtmatig (Prasumptio Iustae Causa).
Keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara bagaimanapun cacatnya suatu keputusan, misalnya terdapat keputusan tanpa dasar hukum (sine lege) maka keputusan tersebut tetap harus dianggap sah dan berlaku sampai dinyatakan tidak sah oleh instansi yang berwenang yang dalam hal ini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. 

Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari. Terdapat 4 (empat) syarat dalam menentukan sejak kapan dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu sebagai berikut:
  1. Sejak diterima;
  2. Diumumkan;
  3. Diterbitkan; dan
  4. Diketahuinya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara. 
Gugatan yang diajukan, hendaknya memenuhi syarat yang telah diuraikan dalam Pasal 56 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
  1. Gugatan harus memuat: 
    • Nama, Kewarganegaraan, Tempat tinggal dan Pekerjaan penggugat atau kuasanya;
    • Nama jabatan dan tempat kedudukan tergugat; dan
    • Dasar gugatan dan hal yang diminta diputuskan oleh pengadilan.
  2. Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah; dan
  3. Gugatan sedapat mungkin juga disertai keputusan tata usaha negara yang disengketakan oleh penggugat.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo bahwa dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang tersebut memberikan petunjuk mengenai isi surat gugatan dan menetapkan adanya 2 (dua) syarat yang wajib dipenuhi, yaitu:
  1. Syarat formil memuat:
    • Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat maupun kuasanya; dan
    • Nama jabatan, dan tempat kedudukan tergugat; 
  2. Syarat materil meliputi:
    • Dasar gugatan yaitu kejadian-kejadian atau hal-hal yang merupakan dasar tuntutan, jadi merupakan alasan adanya tuntutan itu (posita atau fundamentum petendi);
    • Tuntutan yaitu apa yang dituntut berupa tuntutan pokok dan tuntutan ganti rugi dan/ atau rehabilitasi. 
Tidak setiap orang dapat bertindak sendiri untuk membela hak-haknya, dalam hal demikian ia dapat didampingi oleh kuasa. Pasal 56 ayat (2) tersebut memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memberikan kuasa dalam pembelaan haknya atau kepentingannya itu.

Pejabat Tata Usaha Negara 
Rumusan Pejabat Tata Usaha Negara dapat ditelaah dari 2 (dua) sudut, yaitu:
  1. Perundang-undangan, Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah badan atau seseorang jika dalam melakukan tugas kewajibannya sebagai aparatur negara didasarkan pada ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan yang merupakan landasan kewenangan pejabat tata usaha negara;
  2. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, adalah jika kewenangan pejabat ada atau diadakan untuk menata hidup bersama, termasuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ia hadapi, tetapi hukum yang mengatur dan/ atau menyelesaikan persoalan-persoalan itu tidak ada maka ia berwenang untuk mengambil keputusan dalam rangka kebijaksanaan tertinggi (top administrator).
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Berdasarkan hal di atas yang dimaksud dengan "urusan pemerintahan" adalah kegiatan yang bersifat eksekusif. Dengan demikian kegiatan lain di luar kegiatan yang bersifat eksekusif tersebut terutama yang masuk dalam pengertian kegiatan legislatif dan yudikatif tidak masuk di dalam pengertian "urusan pemerintah". Urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat mengikat secara umum.

Indroharto mengatakan bahwa apa saja dan siapa saja yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, pada suatu saat melaksanakan suatu urusan pemerintahan, maka menurut undang-undang ini ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Berdasarkan pendapat Indroharto tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pegangan dan ukuran bukannya kedudukan struktural atau organisatoris dari organ atau pejabat yang bersangkutan dalam struktur atau susunan pemerintahan, tetapi ditekankan pada fungsi yang dilaksanakannya pada waktu itu, yaitu fungsi pemerintahan. 

Apabila pada saat itu yang dilaksanakannya adalah urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang kepadanya, maka pada saat itu ia termasuk Pejabat Tata Usaha Negara (sekalipun secara struktural atau organisatoris ia bukan termasuk dalam jajaran pemerintahan atau eksekutif) sehingga dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Kadar Slamet menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara selama ini menganut kriteria fungsional. Jadi ukurannya adalah sepanjang Badan atau Pejabat TUN tersebut, "berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan", sehingga tolak ukurnya adalah asalkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan ketentuan baik yang tertulis atau yang tak tertulis untuk memenuhi asas legalitas tindakan pemerintah) dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan.

Konsekuensi dari kriteria fungsional adalah pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjadi tidak terbatas pada Badan-badan atau Pejabat-Pejabat di lingkungan Eksekutif yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi siapa saja asalkan kepadanya diletakkan kewenangan untuk menjalankan fungsi pemerintahan atau melakukan kegiatan urusan pemerintahan, maka terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkannya pada prinsipnya dapat saja dijadikan obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, asalkan ada dasar wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika dilihat dari pengertian di atas maka Kepala Daerah dapat dimasukkan ke dalam Pejabat Tata Usaha Negara yang dapat menjadi tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Demikian penjelasan singkat mengenai Pengertian Gugatan dan Pejabat Tata Usaha Negara yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: