BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Bank sebagai Media Pencucian Uang

Bank Sebagai Media Pencucian Uang
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organized crime maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan illegal (Yunus Husein, "PPATK: Tugas, Wewenang, dan Perannya Dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang", Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No. 3, 2003, hlm. 26).

Mengenai latar belakang para pelaku pencucian uang melakukan aksinya menurut Rick McDonnel dalam Regional Implementation, Regional Conference on Combating Money laundering and Terrorisme Financing, Denpasar, 17 Desember 2002 (Zulkarnain Sitompul, "Problematika Perbankan", Bandung: Books Terrace and Library, 2005, hlm. 271), yakni dengan maksud:
  1. Memindahkan atau menjatuhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime;
  2. Memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan;
  3. Menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya; dan
  4. Melakukan reinvestasi hasil kejahatan tersebut untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam kegiatan usaha yang sah.
Kegiatan pencucian uang dalam sistem keuangan pada umumnya dan sistem perbankan pada khususnya memiliki resiko yang sangat besar. Adapun resiko tersebut, yakni sebagai berikut:
  1. Resiko Operasional;
  2. Resiko Hukum;
  3. Resiko terkonsentrasinya Transaksi; dan
  4. Resiko Reputasi. 
Bagi perbankan di Indonesia tindakan pencucian uang merupakan suatu hal yang sangat rawan, hal ini dikarenakan oleh beberapa hal sebagaimana berikut di bawah ini: 
  1. Peranan sektor perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia diperkirakan mencapai 93% (sembilan puluh tiga persen). Oleh sebab itu, sistem perbankan menjadi perhatian utama dalam pelaksanaan rezim anti pencucian uang (money laundering);
  2. Tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri perbankan menjadi lahan empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang dan merupakan sarana paling efektif untuk melakukan kegiatan pencucian uang (money laundering).
Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh aparat penegak hukum (Guy Stessens, "Money laundering: A New international Law Enforcement Model", Cambridge University Press: First Published, 2000, hlm. 9). Adapun keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang, yakni dapat berupa:
  1. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe deposit box;
  2. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito atau tabungan atau giro;
  3. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan ilegal;
  4. Pengajuan permohonan kredit dengan memberikan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan;
  5. Penggunaan fasilitas transfer atau Transfer Dana Elektronik (Electronic Funds Transfer);
  6. Pemalsusan dokumen-dokumen Letter of Credit (L/C) yang bekerja sama dengan oknum pejabat bank terkait; dan
  7. Pendirian atau pemanfaatan bank gelap
Hal tersebut dapat terjadi mengingat adanya kemudahan dalam proses pengelolahan hasil kejahatan pada berbagai kegiatan usaha bank. Di samping itu karena organisasi kejahatan membutuhkan pengelolahan cash flow keuangan dengan cara menempatkan dananya dalam kegiatan usaha perbankan maka penggunaan bank merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam upaya mengaburkan asal usul sumber dananya. Hal tersebut menunjukkan eratnya keterkaitan antara organisasi kejahatan dan lembaga keuangan terutama bank (Zulkarnain Sitompul, "Problematika Perbankan", Bandung: Books Terrace and Library, 2005, hlm. 273). 

Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan dan oleh para penjahat individu sangat merugikan masyarakat. Oleh karena itu, banyak negara berupaya untuk memerangi kejahatan ini. Beberapa dampak kejahatan pencucian uang terhadap masyarakat berdasarkan paper yang dikeluarkan Department of Justice Canada yang berjudul Electric Money Laundering: an Environmental Scan yang diterbitkan pada bulan Oktober 1998 (Adrian Sutedi, "Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan", Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 52), yakni sebagai berikut:
  1. Pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar narkotika, para penyelundup dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukum untuk memberantasnya dan biaya perawatan serta pengobatan kesehatan bagi para korban atau pecandu narkotika;
  2. Kegiatan pencucian uang mempunyai potensi untuk merongrong keuangan masyarakat (financial community) sebagai akibat sedemikan besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran jumlah uang haram yang sangat besar; dan
  3. Pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.
Tindak pidana di bidang perbankan merupakan White Collar Crime atau yang dikenal dengan istilah dalam bahasa Indonesia Kejahatan Kerah Putih (Adrian Sutedi, "Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan", Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 53). Adapun White Collar Crime dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelompok, yakni sebagai berikut:
  1. Kejahatan yang dilakukan oleh kalangan profesi dalam melakukan pekerjaan, seperti advokat, akuntan, dokter;
  2. Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak warga negara.
Adapun tipologi kejahatan perbankan, penipuan atau kecurangan di bidang perkreditan (credit fraud) (Neni Sri Imaniyati, "Pengantar Hukum Perbankan Indonesia", Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 172), yakni sebagai berikut:
  1. Penggelapan dana masyarakat (embezzlement of public fraud);
  2. Penyelewengan atau penyalahgunaan dana masyarakat (Misapropriation of public funds);
  3. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan keuangan (violation of currency regulations); dan
  4. Pencucian uang (money laundering).
Tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi disektor perbankan membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi tindak pidana pencucian uang. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya sehingga asal-usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum. 

Bahkan melalui sistem perbankan, pelaku dalam waktu yang sangat cepat dapat memindahkan dana hasil kejahatan melampaui batas yurisdiksi negara, sehingga pelacakannya akan bertambah sulit apalagi kalau dana tersebut masuk kedalam sistem perbankan yang negaranya menerapkan rahasia bank yang sangat ketat (Zulkarnain Sitompul, "Problematika Perbankan", Bandung: Books Terrace and Library, 2005, hlm. 275).

Demikian penjelasan singkat mengenai Bank Sebagai Media Tindak Pidana Pencucian Uang yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: