BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Hubungan Negara dengan Agama

Hubungan Negara dengan Agama
Hubungan agama dan negara dalam konteks dunia Islam masih menjadi perdebatan yang intensif di kalangan para pakar Muslim hingga kini. Menurut Azyumardi Azra, perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir 1 (satu) abad dan masih berlangsung hingga dewasa ini. 

Menurut Azra, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyeleraskan antara din dan dawlah dengan konsep dan kultur politik masyarakat Muslim seperti halnya percobaan demokrasi di sejumlah negara di dunia. Penyelerasan din dan dawlah di banyak negara-negara Muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan wacana demokrasi di kalangan negara-negara Muslim dewasa ini semakin menambah maraknya perdebatan Islam dan negara. Perdebatan Islam dan negara berangkat dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli) yang mengatur semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. 

Dari pandangan Islam sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah). Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad SAW di Madinah. Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad SAW berperan ganda sebagai seorang pemimpin negara sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem pemerintahan awal Islam yang oleh kebanyakan pakar dinilai sangat modern di masanya.

Posisi ganda Nabi Muhammad SAW di kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli. Secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identik dengan negara atau sebaliknya Islam tidak meninggal konsep yang tegas tentang bentuk negara, mengingat sepeninggal Nabi Muhammad SAW tidak seorang pun dapat menggantikan peran ganda beliau sebagai pemimpin dunia yang sekuler dan si penerima wahyu Allah sekaligus.

Menyikapi realitas perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi Nabi Muhammad SAW saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (Al-Kitab) bukan sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain, politik atau negara dalam Islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama Islam. Pandangan Ibnu Taimiyah ini bersumber pada ayat Al-Qur’an (QS. 57: 25) yang artinya : 
"Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan, dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa."
Bersandar pada ayat ini, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan "pedang" penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama sendiri. Adapun politik, tidak lain sebatas alat untuk mencapai tujuan-tujuan luhur agama.

Mengeleborasi pandangan Ibnu Taimiyah di atas, Ahmad Syafi’i Ma’arif menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam Al-Qur’an. Istilah dawlah memang ada dalam Al-Qur’an pada Al-Hasyr (QS. 59: 7), tetapi tidak bermakna negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.

Pandangan sejenis pernah juga dikemukakan oleh beberapa modernis Mesir, antara lain Ali Abdul Raziq dan Mohammad Husein Haikal. Menurut Haikal, prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh Al-Qur’an dan Al-Sunah tidak ada langsung yang berkaitan dengan ketatanegaraan. 

Lebih lanjut Haikal mengatakan bahwa dalam Islam tidak terdapat suatu sistem pemerintahan apa pun asalkan sistem tersebut menjamin persamaan antara para warga negaranya, baik hak maupun kewajiban dan persamaan di depan hukum dan pelaksanaan urusan negara diselenggarakan atas dasar musyarawah (syura) dengan berpegang kepada tata nilai moral dan etika yang diajarkan Islam. 

Hubungan Islam dan negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) pandangan, yakni : 
  1. Paradigma Integralistik;
  2. Paradigma Simbiostik; dan 
  3. Paradigma Sekularistik. 
Paradigma Integralistik 
Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi Islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Paham ini juga memberikan penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenai pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah).

Dalam pergulatan Islam dan negara modern, pola hubungan integratif ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. 

Dari sinilah kemudian paradigma integralistik identik dengan paham Islam ad-Din wa Dawlah (Islam sebagai agama dan negara) yang sumber hukum positifnya adalah hukum Islam (syariat Islam). Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh negara Kerajaan Saudi Arabia dan penganut paham Syiah di Iran, hal mana kelompok pecinta Ali R. A. ini menggunakan istilah Imamah sebagaimana dimaksud dengan istilah dawlah yang banyak dirujuk kalangan Sunni.

Paradigma Simbiotik 
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam pandangan ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral, etika dan spiritualitas warga negaranya.

Paradigma simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah tentang negara sebagai alat agama di atas. Dalam kerangka ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. 

Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut meligitimasi bahwa antara agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya kontrak sosial (social contract), tetapi diwarnai oleh hukum agama (syariat)

Dengan kata lain agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan kepada kelompok paradigma ini.

Paradigma Sekularistik 
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga negara.

Berdasarkan pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (syariat). Konsep sekularistik dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad SAW untuk mendirikan negara Islam. Adapun Negara Turki dapat digolongkan ke dalam paradigma ini.

Demikian penjelasan singkat mengenai Hubungan Negara dengan Agama yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: