BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Ketentuan UNTOC 2000 yang Berkaitan Penyeludupan Senjata

Ketentuan UNTOC 2000 yang Berkaitan Penyeludupan Senjata
  1. Pasal 2 dan 3 tentang Definisi dan Ruang Lingkup;
  2. Pasal 4 tentang Prinsip Persamaan Kedaulatan;
  3. Pasal 5-9 dan Pasal 23 tentang Pemidanaan terhadap Kejahatan-Kejahatan Tertentu;
  4. Pasal 15 tentang Jurisdiksi;
  5. Pasal 16 tentang Ekstradisi; dan
  6. Pasal 26, 27 dan 29 tentang Kerjasama Antar Negara.
Pasal 2 dan 3 Tentang Definisi dan Ruang Lingkup
Konvensi memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan kelompok kejahatan terorganisir yang diartikan sebagai suatu kelompok terstruktur, terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang ada pada suatu periode waktu dan yang bertindak secara bersama-sama dengan maksud melakukan satu atau lebih kejahatan serius atau tindak pidana yang ditetapkan menurut konvensi ini, untuk memperoleh, secara langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau keuntungan materi lainnnya (vide: Pasal 2a).

Pada kententuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 3 ayat 2 konvensi ini juga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan yang bersifat transnasional adalah kejahatan-kejahatan yang:
  1. Dilakukan di lebih dari satu negara;
  2. Dilakukan di satu negara, tetapi sebagian besar dari persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendaliannya berlangsung di negara lain;
  3. Dilakukan di satu negara, tetapi melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisir yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan kejahatan di lebih dari satu negara; dan
  4. Dilakukan di satu negara, tetapi mengakibatkan dampak luas di negara lain. 
Terhadap kejahatan transnasional tersebut, maka konvensi ini akan berlaku sepanjang menyangkut tindakan pencegahan (prevention), penyelidikan (investigation) dan penuntutan (prosecution) terhadap orang yang terlibat dalam kelompok kejahatan transnasional terorganisir. Orang yang melakukan konversi atau mentransfer properti hasil kejahatan; pelaku tindak pidana korupsi; dan pihak-pihak yang melakukan gangguan terhadap proses peradilan, seperti melakukan kekerasan fisik, ancaman atau intimidasi baik terhadap pihak yang akan memberikan kesaksian atau terhadap aparat penegak hukum (vide: Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 5, 6, 8 dan 23).

Pasal 4 tentang Prinsip Persamaan Kedaulatan
Sebagaimana umumnya ketentuan hukum internasional, prinsip yang dimuat dalam konvensi ini adalah bahwa dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi ini, negara-negara harus memegang teguh prinsip persamaan kedaulatan dan menghormati integritas teritorial negara-negara serta prinsip non intervensi terhadap urusan dalam negeri negara lain (vide: Pasal 4 ayat 1).

Dengan demikian, negara-negara peserta konvensi tidak memiliki hak untuk melaksanakan tindakan apa pun di wilayah negara lain sepanjang tindakan tersebut merupakan hak yurisdiksional negara lain sebagaimana diatur dalam hukum nasional negara tersebut (vide: Pasal 4 ayat 2).

Pasal 5-9 dan Pasal 23 tentang Pemidanaan terhadap Kejahatan-Kejahatan Tertentu
Setiap negara peserta konvensi dibebankan kewajiban untuk melaksanakan tindakan pemidanaan (criminalization) terhadap keterlibatan dalam suatu kelompok kejahatan terorganisir. Konvensi ini menyatakan bahwa setiap negara peserta harus memasukkan dalam peraturan perundang-undangannya sebagai tindak pidana, baik tindakan percobaan atau penyelesaian dari tindak pidana sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf (a), yakni:
  1. Menyepakati bersama-bersama satu orang atau lebih untuk melakukan suatu kejahatan serius dengan tujuan yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan upaya memperoleh keuntungan finansial atau materi, termasuk suatu tindakan oleh peserta dalam pelaksanaan perjanjian atau keterlibatannya dalam kelompok kejahatan terorganisir;
  2. Tindakan oleh seseorang yang dengan secara sadar mengetahui tujuan tindakan kejahatan suatu kelompok kejahatan terorganisir maupun maksud dilaksanakannya kejahatan yang bersangkutan yang berperan aktif dalam: 
    • Kegiatan-kegiatan kejahatan dari kelompok kejahatan terorganisir;
    • Kegiatan-kegiatan lain dari kelompok kejahatan terorganisir dengan disertai kesadaran bahwa keikutsertaannya akan memberikan konstribusi bagi tercapainya tujuan kejahatan tersebut. 
Pemidanaan juga harus dilakukan terhadap tindakan yang termasuk dalam kategori pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing), pembantuan (aiding), persekongkolan (abetting), fasilitasi (facilitating), atau penasehatan (counselling) dari pelaksanaan tindak pidana serius yang melibatkan kelompok kejahatan terorganisir. 

Konvensi ini juga mengatur masalah pemidanaan yang harus ditetapkan oleh negara peserta dalam kaitan dengan tindakan pencucian hasil kejahatan (laundering of proceeds of crime) termasuk tindakan pencucian uang (money laundering) serta pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi (vide: Pasal 5-8 dan Pasal 23).

Pasal 15 tentang Jurisdiksi
Masalah yurisdiksi merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam kaitan pemberantasan kejahatan transnasional terorganisir. Setiap negara peserta memiliki yurisdiksi atas tindak pidana yang diatur Konvensi sebagaimana dimuat dan diatur dalam Pasal 15 ayat (1), apabila:
  1. Tindak pidana itu dilakukan di dalam wilayahnya;
  2. Tindak pidana itu dilakukan di atas kapal berbendera negaranya atau di atas pesawat udara yang terdaftar di negara terkait.
Di samping itu, negara peserta juga dapat menetapkan suatu tindak pidana tunduk pada yurisdiksinya sebagaimana dimuat dan diatur dalam Pasal 15 ayat (2) konvensi ini, jika:
  1. Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap warga negaranya;
  2. Tindak pidana itu dilakukan oleh seorang warga negaranya atau oleh orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless person) yang bertempat tinggal di dalam wilayahnya;
  3. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 5 (1) dan dilakukan di luar wilayahnya yang melibatkan penyertaan atas kejahatan serius di dalam wilayahnya; dan
  4. Merupakan salah satu dari yang ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (b) butir (ii) yang dilakukan di luar wilayahnya, namun melibatkan penyertaan tindak pidana di dalam wilayahnya.
Setiap Negara peserta juga harus mengambil tindakan untuk menerapkan yurisdiksinya terhadap pelaku tindak pidana tersebut jika tersangka pelaku tersebut tidak dapat diekstradisikan karena alasan bahwa ia adalah semata-mata warga negaranya dan/ atau berada di dalam wilayahnya (vide: Pasal 15 ayat 3)

Pasal 16 tentang Ekstradisi
Ekstradisi pada umumnya merupakan suatu proses penyerahan tersangka atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut (M. Budiarto, "Masalah ekstradisi dan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia", Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980, hlm. 13).

Pada prinsipnya, konvensi ini dapat dijadikan sebagai landasan hukum bagi dilakukannya ekstradisi pelaku kejahatan jika tidak ada perjanjian ekstradisi antara negara-negara peserta. Lebih jauh, Konvensi menentukan bahwa tindak pidana yang tercakup dalam pengaturan konvensi ini harus ditetapkan sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisikan dalam perjanjian ekstradisi yang dibentuk di antara negara-negara peserta (vide: Pasal 16 ayat 3 dan 4).

Konvensi juga memberikan pengaturan bahwa syarat-syarat ekstradisi yang ditetapkan oleh hukum domestik negara-negara peserta atau oleh perjanjian ekstradisi yang telah dibuat di antara negara-negara tetap berlaku, antara lain mengenai syarat hukuman minimal untuk dilakukan ekstradisi dapat menjadi alasan negara-negara untuk menolak melaksanakan ekstradisi pelaku tindak pidana.

Jika alasan penolakan permintaan ekstradisi dari negara lain itu dilandasi alasan bahwa orang yang diminta untuk diekstradisikan adalah warga negaranya, maka kewajiban negara yang bersangkutan adalah sesegera mungkin melakukan proses peradilan terhadap tersangka pelaku di pengadilan domestiknya. 

Namun demikian, Negara peserta tidak boleh menolak permintaan ekstradisi semata-semata hanya karena pertimbangan masalah keuangan. Perlu diperhatikan bahwa meskipun dipandang sebagai salah satu landasan hukum bagi ekstradisi pelaku tindak pidana yang tunduk pada pengaturannya, konvensi tetap merekomendasikan agar dibuat perjanjian atau persetujuan bilateral maupun multilateral guna memperkuat efektivitas dari ekstradisi (vide: Pasal 16 ayat 7, 10, 15 dan 17).

Pasal 26, 27 dan 29 tentang Kerjasama Antar Negara
Konvensi juga mengatur mengenai berbagai bentuk kerjas ama antar negara misalnya kerja sama di bidang informasi tentang orang-orang yang terlibat atau pernah terlibat dalam kelompok kejahatan terorganisi, kerja sama dalam penegakan hukum guna memberantas kejahatan transnasional terorganisir serta pelatihan dan bantuan teknis terhadap aparat penegak hukum, seperti jaksa, penyidik, dan aparat bea cukai dan orang-orang yang ditugaskan untuk mencegah, menyelidiki dan mengontrol kejahatan transnasional terorganisir (vide: Pasal 25 sampai 29).

Setelah melihat beberapa ketentuan pasal di atas mengenai kejahatan transnasional terorganisir dapat diketahu bahwa tidak ditemukan secara khusus mengenai pembahasan tentang penyeludupan senjata illegal dalam UNTOC 2000, akan tetapi dalam Protocol Against The Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, Their Parts and Components and Ammunition 2001 (UN Firearms Protocol) selaku protokol yang melengkapi UNTOC 2000 menjelaskan secara rinci mengenai penyeludupan senjata ilegal.

Demikian penjelasan singkat mengenai Ketentuan UNTOC 2000 yang Berkaitan Penyeludupan Senjata yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih ke depannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: