BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

UN Firearms Protocol Sebagai Protokol Pelengkap UNTOC 2000

UN Firearms Protocol Sebagai Protokol Pelengkap UNTOC 2000
Perhatian dunia internasional yang dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap masalah produksi dan perdagangan senjata ilegal telah dilakukan sejak tahun 1988. Melalui resolusinya, pada tanggal 7 Desember 1988 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan keyakinannya bahwa transfer senjata dengan segala aspeknya, sepatutnya memperoleh perhatian yang serius dari masyarakat internasional. Hal ini dikarenakan kenyataan-kenyataan sebagai berikut: 
  1. Efek yang ditimbulkan oleh senjata pada daerah yang terkena konflik regional dapat mengancam keamanan nasional,serta juga perdamaian dan keamanan internasional;
  2. Efek negatif yang telah dan mungkin ditimbulkan senjata tersebut pada proses pembangunan ekonomi dan sosial secara damai terhadap seluruh masyarakat;
  3. Meningkatnya perdagangan senjata secara ilegal. 
Untuk menindaklanjuti resolusi ini, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengajukan suatu kajian yang dipersiapkan dengan bantuan governmental experts mengenai cara dan tindakan untuk mendorong transparansi dalam perdagangan internasional atas senjata konvensional secara universal dan non diskriminasi berdasarkan pertimbangan terhadap pendapat negara-negara anggota dan informasi yang relevan termasuk informasi mengenai permasalahan perdagangan senjata secara ilegal. 

Kajian tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi yang kemudian dirumuskan dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 46/36 H (UN General Assembly Resolution A/RES/46/36 H) dan 46/36 L (UN General Assembly Resolution A/RES/46/36 pertimbangan terhadap L) secara berturut-turut pada tanggal 6 Desember 1991 dan pada tanggal 9 Desember 1991.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta kepada seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memberikan perhatian yang besar terhadap pemberantasan perdagangan senjata ilegal untuk segala jenis senjata dan perlengkapan militer yang merupakan fenomena yang mengganggu dan berbahaya yang mana sering terkait dengan terorisme, perdagangan obat terlarang, tentara bayaran dan kejahatan terorganisir serta kegiatan-kegiatan yang mengganggu stabilitas (vide: Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/43/75 I, tanggal 7 Desember 1988).

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa juga meminta kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengatur dan menetapkan Daftar Senjata Konvensional (Register of Conventional Arms) secara universal dan non diskriminasi. Melalui penetapan ini, semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dimintakan untuk menyediakan data mengenai impor dan ekspor senjata dan informasi mengenai latar belakang militer yang ada di negara tersebut serta keterangan mengenai produksi senjata nasional dan kebijakan yang terkait.

Pada tanggal 16 Desember 1993 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali mengeluarkan resolusinya yang mengakui bahwa perdagangan senjata secara ilegal merupakan suatu fenomena yang bersifat mengganggu, berbahaya dan terus meningkat. Majelis Umum juga menyatakan bahwa fenomena perdagangan senjata ilegal ini menimbulkan efek yang mengganggu stabilitas akibat dari kemampuan senjata konvensional yang canggih dan destruktif tersebut.

Lebih lanjut pada tanggal 12 Desember 1995, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian mengeluarkan resolusinya yang pertama mengenai senjata berkaliber kecil (small arms). Melalui resolusi ini, Majelis Umum meminta kepada Sekjen dengan bantuan sebuah tim panel untuk mempersiapkan suatu laporan mengenai persoalan senjata ringan dan berkaliber kecil (Small Arms and Light Weapons disingkat SALW) dengan segala aspeknya. 

Masih pada tanggal yang sama, melalui Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) A/RES/50/70 H (UN General Assembly Resolution A/RES/50/70 H), masyarakat internasional diminta untuk memberikan dukungan sepatutnya terhadap upaya negara-negara yang berpengaruh dalam menentang peredaran ilegal senjata berkaliber kecil yang berkemungkinan besar dapat menghambat pembangunan.

Perhatian terhadap masalah perdagangan senjata secara ilegal ini tidak hanya diupayakan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, tetapi juga oleh organ Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lain seperti Commission on Crime Prevention and Criminal Justice yang merupakan salah satu badan tambahan (subsidiary bodies) dari ECOSOC. 

Pada tahun 1995, Komisi ini meminta Centre for International Crime Prevention yang bermarkas di Vienna untuk melakukan suatu kajian terhadap pengaturan mengenai senjata api untuk tujuan pencegahan tindak kejahatan dan keselamatan masyarakat sipil. Pada tahun 1998, kajian tersebut memberikan hasil yang dikenal dengan sebutan United Nations International Study on Firearms Regulation yang kemudian dituangkan ke dalam resolusi ECOSOC 1998/18, 28 Juli 1998 (David Biggs, United Nations Contributions to the Process).

Resolusi inilah yang kemudian menjadi awal dari rencana pembentukan suatu instrumen hukum internasional (naskah protokol) untuk menentang produksi dan perdagangan senjata secara ilegal dalam hubungannya dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai kejahatan transnasional terorganisir. 

Menindak lanjuti rencana ini, maka pada tanggal 9 Desember 1998, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi 53/111 (UN General Assembly Resolution A/RES/53/111) yang antara lain memutuskan untuk membentuk suatu Komite Ad Hoc (open ended intergovernmental ad hoc committee) yang salah satu tugasnya adalah menyusun naskah protokol mengenai produksi dan perdagangan senjata secara ilegal.

Perundingan atas naskah Protokol ini dimulai pada sidang Komite Ad Hoc yang pertama pada bulan Januari 1999 di Vienna. Naskah protokol ini kemudian mengalami 5 (lima) kali revisi selama berlangsungnya sidang Komite Ad Hoc yang diselenggarakan sebanyak 11 (sebelas) kali. 

Sebelum dilaksanakannya sidang Komite Ad Hoc yang ketujuh, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengeluarkan sebuah Resolusi 54/127 (UN General Assembly Resolution A/RES/54/127) pada 17 Desember1999 yang selain menyatakan untuk melakukan upaya-upaya dalam perlawanan terhadap produksi dan perdagangan senjata ilegal, juga menekankan perlunya dilaksanakan upaya serupa terhadap produksi dan perdagangan bahan peledak (explosives) secara ilegal (Dokumen Majelis Umum PBB A/55/383: 6-22).

Untuk itu melalui resolusi ini, Majelis Umum meminta kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membentuk suatu kelompok terdiri dari sejumlah ahli (expert group) yang beranggotakan tidak lebih dari 20 (dua puluh) orang untuk mempersiapkan suatu kajian mengenai kegiatan produksi dan perdagangan bahan peledak oleh para penjahat dan penggunaannya untuk tujuan kejahatan. Berdasarkan resolusi ini, maka pada sidangnya yang ketujuh, Komite Ad Hoc memutuskan untuk menghilangkan pembahasan mengenai bahan peledak dalam naskah Protokol mengenai produksi dan perdagangan senjata secara ilegal.

Lebih lanjut, pada sidangnya yang kesebelas, Komite Ad Hoc memutuskan untuk memperpanjang waktu sidang kesebelas sehubungan dengan upaya penyelesaian dan persetujuan terhadap naskah protokol mengenai produksi dan perdagangan senjata ilegal ini, yakni dengan menyelenggarakan pertemuan tambahan pada tanggal 28 Oktober 2000. 

Meskipun telah dilakukan pertemuan tambahan, Komite Ad Hoc tidak mampu juga untuk menyelesaikan tugasnya. Sebagai konsekuensinya, maka Komite Ad Hoc memutuskan untuk memasukkan dua paragraf ke dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 55/25 (UN General Assembly Resolution A/RES/55/25) yang menyatakan bahwa Komite Ad Hoc belum menyelesaikan tugasnya untuk menyusun naskah Protokol mengenai produksi dan perdagangan senjata ilegal dan meminta Komite Ad Hoc untuk menyelesaikannya sesegera mungkin (Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/55/25, 15 November 2000, par. 4-5).

Menanggapi hal ini, sejumlah delegasi menyatakan pentingnya untuk menyelesaikan naskah protokol tersebut sebelum diselenggarakannya konferensi mengenai Senjata Ringan dan Berkaliber Kecil (Conference on Small Arms and Light Weapons) yang dijadwalkan pada tahun 2001 (Dokumen Majelis Umum PBB A/55/383, par. 120).

Akhirnya pada tanggal 31 Mei 2001, Komite Ad Hoc menyelesaikan naskah Protokol mengenai produksi dan perdagangan senjata secara ilegal (Protocol against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, their Parts, and Components and Ammunition, supplementing the United Nations Conventions against Transnational Organized Crime) yang dikenal sebagai UN Firearms Protocol, yang kemudian dituangkan dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 55/255 (UN General Assembly Resolution A/RES/55/255). 

Protokol ini terbuka untuk ditandatangani oleh semua negara sejak 30 (tiga puluh) hari setelah dikeluarkannya resolusi dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni sejak tanggal 31 Mei 2001 hingga 12 Desember 2002 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York (Protocol against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, their Parts, and Components and Ammunition, 2001, Pasal 17 ayat 1).

Protokol ini mulai berlaku 90 (sembilan puluh) hari setelah negara ke-40 (ke-empat puluh) mendepositkan instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau penolakannya dan tidak akan berlaku sebelum United Nations Convention against Transnational Organized Crime dinyatakan mulai berlaku. Protokol ini berlaku pada tanggal 3 Juli 2005 dan hingga saat ini telah ditandatangani oleh 52 (lima puluh dua) negara.

Dari uraian di atas mengenai UNTOC 2000 melalui UN Firearms Protocol dalam mengatur tentang penyeludupan senjata secara transnasional dapat ditarik kesimpulan bahwa Protokol ini merupakan tambahan atas Konvensi mengenai Kejahatan Transnasional Terorganisir yang bertujuan untuk meningkatkan, memfasilitasi serta memperkuat kerja sama antara negara-negara peserta dalam upaya untuk mencegah, melawan dan memberantas kegiatan produksi dan perdagangan senjata, bagian dan komponennya serta amunisi secara ilegal (Protocol against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, their Parts, and Components and Ammunition, 2001, Pasal 2).

Protokol yang dikenal dengan sebutan UN Firearms Protocol ini merupakan instrumen pertama yang mengatur masalah produksi dan perdagangan senjata secara ilegal yang mengikat secara hukum dan berlaku secara internasional. Untuk itu, Protokol ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam upaya mengatasi masalah penyelundupan senjata lintas negara.

Demikian penjelasan singkat mengenai UN Firearms Protocol Sebagai Protokol Pelengkap UNTOC 2000 yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih ke depannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: