Penanganan Kejahatan Transnasional di Indonesia
Hukum pidana secara luas meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, sedangkan pengertian hukum pidana dalam arti sempit hanya mencakup hukum pidana materiil. Dalam percakapan sehari-hari maupun dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum, istilah hukum pidana yang dimaksud adalah hukum pidana materiil, sementara untuk menyebut hukum pidana formil biasanya dikenal dengan istilah hukum acara pidana.
Moeljatno memberi definisi perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang dalam undang-undang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan itu (Moeljatno, "Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana", Pidato diucapkan pada upacara peringatan Dies Natalis VI Universitas Gadjah Mada, di Sitihinggil Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1955, hlm. 17).
Sedangkan pengertian kata perbuatan dalam frasa perbuatan pidana menurut Noyon dan Langemeijer bahwa perbuatan yang dimaksud dapat bersifat positif dan negatif. Perbuatan bersifat positif berarti melakukan sesuatu, sedangkan perbuatan bersifat negatif mengandung arti tidak melakukan sesuatu.
Tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dikenal dengan istilah omissions (Fraser Sampson, "Blackstone’s Police Manual Crime", Blackstone Press Ltd., 2001, hlm. 10).
Moeljatno sama sekali tidak menyinggung mengenai kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Kesalahan adalah faktor penentu pertanggungjawaban pidana karenanya tidak sepatutnya menjadi bagian definisi perbuatan pidana. Masih menurut Moeljatno, pandangan yang menyatukan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana adalah pandangan monistis yang dianggapnya kuno (Sudarto dalam M. Hamdan, "Politik Hukum
Pidana", Raja Grafindo Persada: Jakarta,
1996, hlm. 40).
Selanjutnya secara tegas dinyatakan oleh Moeljatno, apakah inkonkreto yang melakukan perbuatan pidana tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah di luar arti perbuatan pidana (Chairul Huda, "Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana", Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006)
Pandangan Moeljatno yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana dikenal dengan pandangan dualistis. Pandangan yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana sesungguhnya untuk mempermudah penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dalam hal pembuktian.
Di depan sidang pengadilan biasanya pembuktian dimulai dengan adanya perbuatan pidana baru kemudian apakah perbuatan pidana yang telah dilakukan dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawabannya terhadap terdakwa yang sedang diadili (Moeljatno, "Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana", Pidato diucapkan pada upacara peringatan Dies Natalis VI Universitas Gadjah Mada, di Sitihinggil Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1955, hlm. 69).
Kemajuan dalam teknologi telah menawarkan dan memberikan kemudahan bagi umat manusia. Modernisasi teknologi transportasi telah memungkinkan mobilitas antar negara menjadi lancar. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi telah menawarkan beberapa jenis layanan bagi kehidupan manusia, antara lain di bidang kesehatan, bisnis, pendidikan, pemerintahan dan lain sebagainya.
Namun kemajuan ini telah melahirkan bentuk-bentuk kejahatan baru atau kejahatan konvensional dengan modus operandi yang baru, salah satunya adalah kejahatan transnasional. Seperti disebutkan di atas, bertalian dengan pemberantasan kejahatan transnasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan Resolusi 55/25 mengenai "United Nations Convention against Transnational Organized Crime".
Dalam Konvensi ini ditentukan bahwa suatu kejahatan bersifat transnasional, jika dalam kejahatan tersebut melibatkan lebih dari satu negara (D. J. Harris, "Cases and Materials on International Law", 2 nd Ed., London: Sweet and Maxwell, 1979, hlm. 236), misalnya seperti:
- Dilakukan di dua negara atau lebih;
- Dilakukan di suatu negara namun dipersiapkan;
- Diawasi atau dikontrol dari negara lain;
- Dilakukan di suatu negara tetapi melibatkan organisasi kriminal yang beraktivitas di lebih dari satu negara; dan
- Dilakukan di suatu negara tetapi berdampak di negara lain.
Jadi suatu kejahatan transnasional melibatkan dua negara atau lebih, salah satu permasalahan yang timbul adalah menentukan negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap pelaku dan upaya apa yang mesti dilakukan untuk menanggulangi, bahkan kalau mungkin mencegah dan menanggulangi kejahatan ini.
Dalam hal menentukan negara yang berhak menerapkan yurisdiksinya, secara teoritis terdapat beberapa teori. Salah seorang ahli, yaitu D.J. Harris berpendapat bahwa suatu negara dalam menerapkan yurisdiksi kriminalnya berdasarkan prinsip (D. J. Harris, "Cases and Materials on International Law", 2 nd Ed., London: Sweet and Maxwell, 1979, hlm. 39).
Pengertian ini tampaknya mengartikan yurisdiksi personal secara luas, yaitu baik dalam hukum publik maupun dalam hukum privat (D.J. Harris, "Cases and Materials on International Law", 2 nd Ed., London: Sweet & Maxwell, 1979, hal. 236)
Berkaitan dengan penerapan prinsip ini bagi pelaku kejahatan dikemukakan oleh Michael Akehurst bahwa Jadi suatu negara dapat mengusut warga negaranya yang melakukan kejahatan di manapun di dunia ini.
Pelaksanaan asas ini memang tergantung kualitas orang yang terlibat dalam peristiwa hukum. Kualitas ini dapat membenarkan suatu negara atau negara-negara menjalankan yurisdiksi jika orang itu berada dalam kekuasaan negara dan proses dapat dilakukan terhadapnya.
Maksudnya suatu negara melaksanakan yurisdiksi personalnya tergantung pada karakteristik orang yang tersangkut dalam suatu kejahatan. Misalnya warga negara atau orang asing menikmati kekebalan atau tidak, bertindak atas nama negara atau untuk kepentingan pribadi.
Praktek internasional, pelaksanaan asas ini dikembangkan menjadi nasionalitas aktif dan nasionalitas pasif. Berdasarkan asas nasionalitas aktif negara dapat menjalankan yurisdiksi terhadap setiap warga negaranya yang melakukan kejahatan dimanapun dilakukan (vide Pasal 5 KUHP).
Oleh karena itu, berdasarkan asas ini suatu negara tidak wajib mengekstradisikan warga negaranya yang telah melakukan kejahatan di luar negeri kepada negara dimana kejahatan itu dilakukan. Sebaiknya menurut asas nasionalitas pasif setiap negara dapat menjalankan yurisdiksi terhadap setiap orang yang melakukan kejahatan terhadap warga negaranya (vide: Pasal 4 dan Pasal 8 KUHP).
Jadi dengan demikian setiap negara memiliki kewenangan hukum eksekusif dalam batas wilayahnya terhadap orang, benda, sesuatu dan peristiwa hukum yang terjadi di sana, termasuk dari orang-orang tersebut. Sesuai dengan pengertian yurisdiksi wilayah, maka suatu negara selain mempunyai hak untuk mengatur sekaligus memiliki kewenangan untuk menegakan hukumnya terhadap orang, benda, sesuatu dan kejadian atau peristiwa hukum yang terjadi di wilayahya.
Akan tetapi dengan kemajuan teknologi satelit dan komunikasi dewasa ini "suatu kejahatan" dapat saja dilakukan oleh seseorang yang berada di negara lain di luar wilayah negara dimana kejahatan itu terjadi. Seiring dengan kemajuan umat manusia, yurisdiksi teritorial dalam prakteknya mengalami perluasan teknis, yaitu terdiri dari teritorialitas subyektif dan teritorialitas obyektif.
Menurut asas teritorialitas subyektif suatu negara berhak menjalankan yurisdiksinya untuk menutut dan menghukum pelaku kejahatan yang dilakukan di dalam wilayahnya dan berakhir di wilayah negara lain. Sebaliknya menurut asas teritorialitas obyektif suatu negara berhak menjalankan yurisdiksinya untuk menutut dan menghukum pelaku suatu kejahatan yang dimulai di negara lain, tetapi diselesaikan di dalam wilayahnya (Starke, "Intriduction...", 9th Ed., hlm. 187).
Berkaitan dengan asas perlindungan Starke menyatakan suatu asas yang berdasarkan asas ini setiap negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan yang bertentangan dengan keamanan dan keutuhan wilayahnya atau kepentingan ekonominya yang vital. Ini berarti suatu negara memiliki kewenangan hukum terhadap orang asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang berakibat terhadap keamanan negaranya (Starke, "Intriduction...", 9th Ed., hlm. 225).
Maka menurut asas ini setiap negara mempunyai hak untuk menegakan yurisdiksinya terhadap pelaku kejahatan yang berifat pelanggaran ketertiban internasional. Prinsip-prinsip (asas) yurisdiksi tentang berlakunya hukum suatu negara yang dikemukakan oleh para ahli tersebut. Di dalam sistem hukum pidana Indonesia telah dianut seperti:
- Prinsip Teritorial (vide: Pasal 2 dan 3 KUHP);
- Prinsip Nasionalitas (vide: Pasal 5 KUHP); dan
- Prinsip Universalitas (vide: Pasal 4 KUHP).
Kesulitan yang dapat ditemukan berkenaan dengan kejahatan transnasional adalah berkenaan dengan lokasi dan alat bukti. Misalnya dalam hal kejahatan transnasional dengan intemet. Sifat uniknya telah menimbulkan masalah baru dalam pengusutan dan penuntutan terhadap pelaku dan menentukan lokasi kejahatan.
Kesulitan lain, mengidentifikasi pelaku kejahatan sebab kejahatan siber tidak meninggalkan bekas secara fisik, seperti sidik jari atau contoh DNA. Juga jejak kaki elektronik sangat sukar untuk ditemukan dan ditelusuri. Akibatnya tentu untuk menangani masalah ini diperlukan mekanisme kerja sama hukum di antara negara-negara sekawasan bahkan internasional.
Kejahatan transnasional sebagai bentuk kejahatan yang potensial dapat mengancam kehidupan masyarakat seperti ekonomi, sosial, ketertiban dan keamanan baik nasional maupun regional. Perkembangan kejahatan transnasional di Indonesia baik sebagai dampak globalisasi juga faktor-faktor lainnya yang berkaitan dengan pergerakan manusia dari suatu wilayah negara ke negara lainnya atau dari suatu kawasan ke kawasan lainnya.
Sehingga sangat potensial muncul dan berkembangnya jenis kejahatan baru lintas batas negara. Bahwa untuk mengatasi meluasnya kejahatan tersebut maka diperlukan instrumen hukum yang berkaitan dengan jenis kejahatan tersebut baik hukum nasional maupun hukum internasional atau perjanjian internasional beserta protokolnya.
Di sisi lain negara sangat berperan untuk mengantisipasi akan ancaman masuknya kejahatan-kejahatan tersebut secara lintas batas negara melalui perundingan-perundingan atau diplomasi dan kerja sama baik bilateral maupun multilateral.
Modernisasi dalam bidang teknologi, transportasi, komunikasi dan informasi termasuk komputer telah menjadikan dunia semakin kelihatan sempit. Namun secara mengejutkan, proses modernisasi tersebut juga memiliki hasil sampingan berupa kejahatan-kejahatan yang bersifat transnasional. Kejahatan transnasional terdiri dari berbagai kejahatan, namun pada dasarnya yang utama adalah perdagangan gelap obat bius.
Selanjutnya adalah kejahatan yang terkait seperti pemutihan uang hasil kejahatan, perdagangan wanita untuk pelacur, penyelundupan imigran gelap (alien smuggling), pembuangan limbah beracun antar negara, pemalsuan mata uang, pemalsuan kartu kredit, perjudian, dan sebagainya. Bahkan akhir-akhir ini muncul perdagangan uranium yang sangat meresahkan (Muladi, "Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana", Semarang: Badan Penerbit Undip, 1997, hlm. 112).
Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional dan dengan kondisi geografis sebagai negara kepulauan tentunya tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti perkembangan lingkungan strategis tersebut secara sungguh-sungguh sebab pengaruh kejahatan transnasional terorganisasi sangat buruk dan akan mengganggu tujuan pembangunan baik nasional, regional maupun internasional.
Memperhatikan jenis-jenis kejahatan transnasional di atas, di Indonesia telah terjadi kejahatan seperti ini misalnya pabrik ekstasi di Kota Batu yang salah seorang pemiliknya dan sekaligus otak pembuatan ekstasi adalah warga negara Belanda. Kejahatan senantiasa berkembang sesuai dengan peradaban manusia mulai dari zaman primitif hingga zaman modern.
Kemampuan untuk memasuki suatu negara tanpa batas adalah faktor yang menyebabkan munculnya kejahatan modern saat ini. Selain itu tidak terlepas juga dengan perkembangan teknologi dan informasi yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern saat ini (Heru Soepraptomo, "Kejahatan Komputer dan Siber serta Antisipasi Pengaturan Pencegahannya di Indonesia", Jurnal Hukum Bisnis, hlm. 9-10).
Kejahatan lintas negara atau yang dikenal dengan kejahatan transnasional menimbulkan banyak kerugian bagi suatu negara bahkan bagi daerah-daerah tertentu di dalam negara tersebut. Berbagai penyimpangan yang dapat dilakukan, seperti pengeksploitasian (sumber daya alam dan sumber daya manusia) yang terlalu berlebihan berdampak kepada manusia yang ada di dunia.
Munculnya masalah-masalah, seperti kemiskinan dan konflik menjadi salah satu penyebab terjadinya kejahatan yang bersifat transnasional. Dengan sifatnya yang dapat melintasi batas-batas wilayah negara dan dapat berdampak terhadap negara lain membuat kejahatan transnasional menjadi sebuah ancaman bagi keamanan global (Heru Soepraptomo, "Kejahatan Komputer dan Siber serta Antisipasi Pengaturan Pencegahannya di Indonesia", Jurnal Hukum Bisnis, hlm. 13).
Pada konteks kejahatan transnasional, penyelundupan migran atau biasa disebut dengan penyelundupan manusia merupakan salah satu bentuk kejahatan transnasional yang terorganisasi, yang dapat menimbulkan kejahatan lainnya.
Pada artian yang sebenarnya, people smuggling merupakan serangkaian kegiatan untuk memasukan seseorang atau kelompok dari negara lain ke dalam suatu wilayah negara secara tidak sah dan bertentangan dengan hukum (Hospita Yulim, "Analisis Yuridis Perbedaan Perdagangan Manusia dan Penyelundupan Manusia", Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012, hlm. 43).
Penyelundupan manusia tidak akan terlepas dari masalah ilegal atau imigran gelap. Imigran gelap pada umunya adalah subjek yang melakukan perpindahan dari suatu negara ke negara lain secara tidak sah atau tidak menurut hukum yang berlaku.
Salah satu faktor yang menyebabkan mereka melakukan imigrasi secara ilegal disebabkan karena adanya permasalahan krusial yang mereka hadapi di negara asal masing-masing yang tidak akan terlepas dari masalah dapat dilihat dari perspektif politik, keamanan, ekonomi, kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat.
Sehingga mendorong mereka untuk mencari kehidupan yang lebih baik serta mencari peluang bisnis atau pekerjaan yang lebih baik di negara lain (Hospita Yulim, "Analisis Yuridis Perbedaan Perdagangan Manusia dan Penyelundupan Manusia", Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012, hlm. 48).
Fenomena penyelundupan manusia ini menjadi penting bagi Indonesia karena letak geografis yang berdekatan dengan Australia, hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang cukup sering dijadikan tempat transit dan titik tolak pergerakan para pelaku penyelundupan manusia.
Keberadaannya yang terletak di antara dua benua menjadikan Indonesia mempunyai peran dan posisi penting dalam menanggulangi masalah penyelundupan manusia sebagai negara yang selalu dijadikan tempat transit.
Ekstradisi sendiri merupakan sarana untuk menyerahkan pelaku kejahatan oleh suatu negara kepada negara yang mempunyai kewenangan untuk mengadili atau menghukum pelaku tersebut. Ekstradisi dilakukan atas dasar suatu perjanjian antara Negara Republik Indonesia dengan negara lain yang ratifikasinya dilakukan dengan undang-undang. Jika belum ada perjanjian maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya.
Tappan menyatakan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan sengaja atau pengabaian dalam melanggar hukum pidana, dilakukan bukan untuk pembelaan diri dan tanpa pembenaran yang ditetapkan oleh negara. Tegasnya, kejahatan sebagai perilaku dan perbuatan yang dapat dikenai sanksi yang ditetapkan secara resmi oleh negara.
Perbuatan yang sejak awal telah dirasakan sebagai suatu ketidakadilan karena bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam masyarakat sebelum ditetapkan oleh undang-undang sebagai suatu perbuatan pidana. Maka ini selanjutnya dapat disebut sebagai kejahatan (Mark Findlay, "The Globalisation of Crime", Cambridge: University Press, hlm. 6).
Menurut Packer, kejahatan adalah sebuah irtefak sosiopolitik bukan fenomena alami. Masih menurut Packer mengemukakan bahwa kita bisa mendapati kejahatan sebanyak atau sesedikit mungkin bergantung pada apa yang kita anggap sebagai kejahatan. Sama dengan Packer, Vernon Fox juga mengemukakan bahwa kejahatan adalah sebuah peristiwa sosial politik bukan sebuah kondisi klinis. Kejahatan bukan kondisi klinis atau medis yang dapat didiagnosis dan dirawat secara khusus.
Kejahatan tidak hanya suatu perbuatan pidana menurut hukum, tetapi terutama suatu kelakuan manusia dan suatu perwujudan dalam masyarakat yang merupakan suatu hal yang tidak patut yang mengancam ketentraman masyarakat jadi perwujudan sosial patologis (Dani Krisnawati, Eddy O.S. Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto, dan Supriyadi, "Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus", Jakarta: Pena: Ilmu dan Amal, 2006, hlm. 6-7)
Dalam konteks KUHP Indonesia, Buku Kedua KUHP adalah perbuatan pidana yang dikualifikasikan sebagai kejahatan sedangkan Buku Ketiga KUHP adalah perbuatan pidana yang berkaitan dengan pelanggaran. Pembagian perbuatan pidana ke dalam kejahatan dan pelanggaran membawa beberapa konsekuensi.
- Pertama, tindakan dan akibat yang ditimbulkan kejahatan lebih berbahaya bila dibandingkan dengan pelanggaran;
- Kedua, konsekuensi dari yang pertama sangat berpengaruh pada sanksi pidana yang diancamkan. Kejahatan diancam dengan pidana yang lebih berat bila dibandingkan dengan pelanggaran; dan
- Ketiga, percobaan melakukan suatu kejahatan maksimum ancaman pidananya dikurangi sepertiga sedangkan percobaan melakukan pelanggaran tidak diancam pidana.
Demikian penjelasan singkat mengenai Penanganan Kejahatan Transnasional di Indonesia yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.