BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Perumusan Tindak Pidana

Perumusan Tindak Pidana
Bertalian dengan cara penuangan rumusan perbuatan atau tindak pidana dan pertanggungjawaban (kesalahan) di dalam sesuatu pasal undang-undang hukum pidana yang ada sekarang ini masih terdapat kesimpangsiuran. 

Hal mana kesimpangsiurang tersebut disebabkan pola cara berpikir Hukum Pidana yang lama sebagaimana perbuatan pidana yang hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) menunjuk kepada orang yang melanggar dengan dapat dijatuhi pidana sebagaimana diancamkan.

Oleh karena itu, penuangan-penuangannya di dalam sesuatu perumusan pasal yang diatur dalam perundang-undangan hukum pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sedapat-dapatnya disesuaikan atau penuangannya harus konsisten dengan konstruksi pemikiran bahwa yang dilarang oleh aturan hukum adalah perbuatannya dan yang diancam dengan pidana adalah orang yang melanggar larangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dengan demikian seharusnya di dalam ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana di kemudian hari akan terwujud satu kesatuan cara merumuskan pola pemikiran hukum pidana, susunan bahasa dan istilah yang telah memenuhi perkembangan baru terhadap hukum yang ada. 

Adapun dalam ilmu hukum pidana dikenal 3 (tiga) macam teknik atau cara untuk merumuskan tindak pidana, yaitu sebagai berikut:
  1. Perumusan yang hanya memberikan kualifikasi atau nama yuridisnya tanpa menentukan unsur-unsurnya seperti contohnya: 
    • Perbuatan makar sebagaimana dimuat dalam Pasal 104 KUHP;
    • Perkelahian tanding (twee gevecht) sebagaimana dimuat dalam Pasal 184 KUHP;
    • Pemalsuan surat sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 264 KUHP;
    • Perdagangan wanita (vrouwenhadel) sebagaimana dimuat dalam Pasal 297 KUHP;
    • Pembunuhan biasa sebagaimana dimuat dalam Pasal 339 KUHP;
    • Penganiayaan (mishandeling) sebagaimana dimuat dalam Pasal 351 KUHP; dan
    • Penganiayaan dengan direncanakan terlebih dahulu sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 353 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
  2. Perumusan yang hanya menentukan unsur-unsurnya tanpa memberikan kualifikasi atau nama yuridisnya seperti contohnya: 
    • Penyuapan aktif sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 209 dan Pasal 210 KUHP;
    • Penggelapan (flessentrekerij) sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 379 (a) KUHP.
  3. Perumusan yang selain memberikan kualifikasinya atau nama yuridisnya juga menentukan unsur-unsurnya. Contohnya seperti: 
    • Ketentuan Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
    • Ketentuan Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); dan 
    • Ketentuan Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).


Perumusan Subyek (Adressaat Norm)
Pada dasarnya tujuan yang menjadi sasaran oleh tindak pidana di dalam ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah orang atau dengan kata lain terbatas pada kualitas seseorang. Hal ini terlihat dari digunakannya idiom barang siapa sebagai padanan hij die

Dalam beberapa undang-undang di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga digunakan istilah lain yaitu setiap orang. Idiom barang siapa dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merujuk kepada orang perseorangan. 

Sedangkan kata setiap orang dalam beberapa undang-undang di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan tegas diartikan sebagai orang perseorangan atau korporasi. Walaupun pada dasarnya masih banyak undang-undang yang adresat norm-nya menggunakan barang siapa pada korporasi. 

Perumusan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana selama ini terutama undang-undang administratif di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak sepenuhnya demikian. Adakalanya ancaman pidana ditujukan terhadap orang, akan tetapi dalam rumusan tindak pidana yang lain ancaman pidananya justru diarahkan kepada perbuatannya. 

Adapun Prof. Andi Hamzah menyatakan pendapatnya bahwa ancaman pidana yang ditujukan terhadap orang ternyata dari rumusan tindak pidana yang diawali dengan kata barang siapa. Sebagaimana pendapat Prof. Andi Hamzah tersebut menjelaskan kepada siapa saja orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan dalam pasal yang diatur diancam dengan pidana yang telah diatur dan ditentukan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 

Adakalanya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan tindak pidana dengan mengancamkan pidana terhadap perbuatan-perbuatan tertentu. Ancaman pidana dalam hal ini ditujukan terhadap perbuatan-perbuatan tersebut. Padahal tidaklah mungkin perbuatan dijatuhi pidana, tetapi pembuatnyalah yang dapat dijatuhi pidana. 

Dengan demikian, dilihat dari teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, hal ini merupakan bagian yang harus diperbaiki sebagaimana pendapat dari Chairul Huda yang menyatakan bahwa ancaman pidana dalam rumusan tindak pidana sebaiknya ditujukan terhadap orang dan bukan terhadap perbuatannya.

Dalam beberapa tindak pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dirumuskan dengan kata-kata yang lebih tegas menuju kepada orang, yaitu setiap orang yang menggantikan barang siapa. Demikian pula halnya dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di masa yang akan datang. Sekalipun kata-kata setiap orang di sini bukan hanya ditujukan terhadap orang perseorangan tetapi juga ditujukan terhadap korporasi.

Sebagaimana penjelasan di atas bahwa tidak dapat dipungkiri tetap saja ancaman pidana ditujukan terhadap pembuatnya baik terhadap orang perorangan maupun juga terhadap korporasi dan tidak lagi ditujukan terhadap perbuatannya. 

Berbagai peraturan perundang-undangan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih banyak yang tidak mengikuti pola pemisahan sebagaimana yang dimaksudkan tersebut, hal mana begitupun juga penyebutan terhadap subyek (addressaat norm) dari tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang belum konsisten dalam penggunaan istilahnya.



Perumusan Perbuatan yang dilarang (Strafbaar)
Salah satu bagian yang penting dalam merumuskan ketentuan pidana dalam peraturan perundang- undangan pidana adalah perumusan tentang perbuatan yang dilarang (strafbaar). Perbuatan yang dilarang dalam suatu tindak pidana merupakan isi dari ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan, oleh sebab itu untuk dapat menyebutkan seseorang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana harus dibuktikan oleh penuntut umum di muka persidangan . 

Adapun kekeliruan dalam perumusan pada perbuatan yang dilarang akan menimbulkan kesulitan dalam praktek penegakan hukum yang pada dasarnya tindak pidana berisi tentang larangan terhadap perbuatan-perbuatan tertentu sebagaimana diketahui dalam delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah dari ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

Berdasarkan hal tersebut, norma-norma hukum pidana berisikan rumusan tentang perintah untuk melakukan sesuatu yang dalam hal ini yaitu tindak pidana materiil serta larangan yang ditujukan kepada akibat yang timbul begitupun juga terhadap tindak pidana yang berisikan rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.

Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu perbuatan yang mengabaikan suatu keharusan yang dilakukan, maka undang-undang memberikan perintah kepada setiap orang untuk melakukan sesuatu. Rumusan pada tindak pidana berisi tentang kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, maka pembuatnya diancam dengan pidana sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 

Adapun kewajiban yang dimaksud menurut hukum tidak hanya bersumber dari ketentuan undang-undang saja tetapi dapat juga bersumber diluar dari ketentuan undang-undang. Kewajiban yang bersumber di luar dari ketentuan undang-undang bisa saja timbul dari:
  1. Kewajiban yang timbul pada suatu perjanjian;
  2. Kewajiban yang timbul pada hubungan-hubungan khusus;
  3. Kewajiban untuk mengantisipasi keadaan bahaya akibat dari perbuatannya;
  4. Kewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial seperti kewajiban hidup bertetangga. 
Berdasarkan hal tersebut kewajiban yang bersumber di luar dari ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai kewajiban yang pada umumnya sehingga kewajiban tersebut lebih bersifat general social expectation daripada moral aspiration.

Perlu diketahui pada teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam perumusan tindak pidana hanya merumuskan tentang perbuatan yang dilarang bukan keadaan batin orang yang melakukan perbuatan itu (kesalahan). Hal mana kesalahan disini pada umumnya dilaksanakan dalam unsur mental (mens rea) dari suatu tindak pidana berupa:
  1. Unsur Kesengajaan
    Mengingat dari beberapa pendapat umum yang menyatakan bahwa semua tindak pidana dilakukan dengan sengaja, maka dari itu tidak diperlukan lagi kata-kata dengan sengaja dalam rumusan perbuatan yang dilarang (strafbaar). Di samping itu juga, setiap kata kerja dalam rumusan perbuatan yang dilarang harus diartikan sebagai kesengajaan sehingga tidak diperlukan lagi kata-kata dengan sengaja dalam rumusan perbuatan tersebut.
  2. Unsur Kealpaan
    Berbeda dengan kealpaan, unsur kealpaan itu memiliki sifat perkecualian (exception) sehingga tetap harus dirumuskan dalam rumusan tindak pidana. Hal mana perbuatan yang terjadi karena kealpaan pembuatnya hanya dikategorikan sebagai tindak pidana jika perbuatan-perbuatan tersebut dipandang cukup serius dan dipandang dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi masyarakat sehingga si pembuat dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena kealpaan.
Jika dalam undang-undang pidana perbuatan yang dilarang (strafbaar) maupun sanksi pidananya (strafmaat) dirumuskan dalam satu pasal, lain halnya dalam tindak pidana pidana administratif yang ketentuan pidananya hanya berisi ancaman pidana (strafmaat) sedangkan perbuatan yang dilarangnya (strafbaar) berada dalam norma administratif. 

Pada undang-undang administratif yang memuat ketentuan pidana pada dasarnya berfungsi sebagai pengaman berupa suatu perintah ataupun larangan yang digunakan untuk memaksakan norma-norma administratif. Berdasarkan hal tersebut, norma hukum pidana yang terdapat dalam rumusan tindak pidana administratif dapat berisi ancaman pidana ketika:
  1. Melanggar Larangan Administratif
    Ketika rumusan tindak pidana pada undang-undang administratif ditujukan untuk melindungi ketentuan administratif yang isinya mengenai suatu larangan, maka ketentuan administratif tersebut menjadi pokok dari tindak pidana yang kemudian dikenal dengan istilah bestanddeel. Pada dasarnya rumusan perbuatannya tersebut terdapat dalam ketentuan administratif dan ancaman pidananya terdapat dalam ketentuan pidana yang memiliki konsekuensi dalam persidangan, yaitu ketentuan administratif tersebut harus menjadi perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum atau isitilah yang dikenal dengan berstanddeelen delict dan karena adanya dakwaan tersebut, maka larangan administratifnya harus dapat dibuktikan.
  2. Melanggar Perintah Administratif
    Jika rumusan tindak pidana ditujukan untuk mengamankan perintah yang terdapat dalam ketentuan administratif, maka ketentuan administratif tersebut hanya diperlukan untuk menafsirkan bagian inti (bestanddeel) tindak pidana tersebut yang sebenarnya baik perbuatan maupun sanksinya telah ada dalam ketentuan pidana tersebut. Dalam hukum acara, norma hukum yang terdapat dalam ketentuan adminstratif tersebut tidaklah menjadi perbuatan yang didakwakan sehingga penuntut umum tidak memiliki kewajiban membuktikan tentang telah dipenuhinya norma administratif tersebut dan untuk pembuktian tentang telah diturutinya perintah yang terdapat dalam ketentuan administratif menjadi beban atau kewajiban dari terdakwa yang jika tidak dapat membuktikan bahwa perintah yang terdapat dalam ketentuan administratif tersebut telah dipenuhi, maka perbuatan materil dari terdakwa telah terpenuhi.


Perumusan Ancaman Pidana (strafmaat)
Pada dasarnya dalam perumusan ketentuan pidana juga berisi ancaman pidana atau sanksi yang dilekatkan pada tindak pidana tersebut. Hal mana ancaman pidananya tersebut haruslah ditujukan kepada orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana pendapat Hoeven yang menyatakan bahwa yang dapat dipidana adalah pembuat. Adapun ancaman pidana ditujukan kepada:
  1. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang;
  2. Mengabaikan perintah yang seharusnya dilakukan; dan
  3. Karena perbuatannya menimbulkan akibat yang terlarang. 
Sebagaimana di atas, maka antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana haruslah dipisahkan pada beberapa tahap, yakni sebagai berikut:
  1. Tahap Perumusan (formulasi);
  2. Tahap Pelaksanaan (law enforcement); dan 
  3. Tahap Penjatuhan Pidana. 
Hal yang sama berkenaan dengan perumusan ancaman pidana suatu tindak pidana dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), hal mana teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana juga telah diikuti, yakni ancaman pidana seutuhnya ditujukan kepada pembuatnya dan tidak lagi ditujukan terhadap perbuatannya. 

Tindak pidana dirumuskan dengan mengatur ancaman pidana terhadap setiap orang atau kualitas tertentu dari setiap orang dengan kata lain perumusan ancaman pidana yang ditujukan terhadap perbuatan sebagaimana terdapat dalam rumusan tindak pidana tertentu di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah ditinggalkan. 

Berdasarkan pandangan beberapa sarjana yang menyatakan bahwa yan memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana adalah ancaman pidananya yang tidak ditujukan terhadap perbuatan terlarang tersebut, melainkan ditujukan terhadap orang yang melakukannya. 

Hal ini berdasarkan pada pandangan umum bahwa yang dapat memiliki kesalahan adalah orang karena kesalahan itu sifat orang bukan sifat dari suatu perbuatan. Berdasarkan hal tersebut dengan adanya penjatuhan pidana, maka celaan yang objektif pada tindak pidana kemudian berubah bentuk menjadi celaan subyektif kepada pembuatnya. Adapun dalam hukum pidana modern, pembuat tindak pidana dapat berupa:
  1. Orang Perseorangan (natuurlijke persoon); dan
  2. Korporasi (korporatie)
Dengan demikian, pandangan yang memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana haruslah menjadi dasar dalam merumuskan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga untuk dapat dijatuhkannya pidana terhadap pembuat tindak pidana, maka haruslah ditentukan terlebih dahulu mengenai tindak pidana yang dilakukan dan apakah pembuatnya dapat dimintai pertanggungjawaban. 

Sebagaimana hal tersebut dikarenakan antara perbuatan yang dilarang (strafbaar) dan ancaman pidana (strafmaat) mempunyai hubungan kausalitas (sebab akibat). Pada hakikatnya, tindak pidana adalah perbuatan yang tercela karena dilarang oleh undang-undang sedangkan pidana merupakan perwujudan dari celaan tersebut. Bahkan larangan terhadap perbuatan yang termuat pada rumusan tindak pidana justru timbul karena adanya ancaman penjatuhan pidana kepada barang siapa yang melakukan perbuatan tersebut. 

Adapun beberapa contoh perumusan pasal di dalam perundang-undangan hukum pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah memenuhi syarat dan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana susunan berikut ini:

Perumusan pasal-pasal yang susunannya memenuhi syarat, yaitu: 
Ketentuan Pasal 336 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan bahwa diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan, barang siapa mengancam:
  1. Dengan kekerasan terhadap orang atau barang secara terang - terangan dengan tenaga bersama; 
  2. Dengan suatu kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang; 
  3. Dengan memperkosa atau perbuatan yang melanggar kehormatan kesusilaan; 
  4. Dengan sesuatu kejahatan terhadap nyawa; 
  5. Dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran.
Perumusan pasal-pasal yang susunannya tidak memenuhi syarat:
  1. Ketentuan Pasal 134 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
    Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam (6) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 300,- (tiga ratus rupiah) (x 15).
  2. Ketentuan Pasal 297 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
    Perdagangan wanita dengan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.
  3. Ketentuan Pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
    Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda paling banyak Rp. 300,- (tiga ratus rupiah) (x 15).
    Demikian penjelasan singkat mengenai perumusan tindak pidana yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima Kasih.
    Baca Juga:
    Erisamdy Prayatna
    Blogger | Advocate | Legal Consultant
    Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

    Baca Juga: