BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Asas Non Retroaktif

Asas Non Retroaktif
Asas non retroaktif dalam ilmu Hukum Pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Republik Indonesia (Moelyatno, cetakan kedua puluh, April: 2001) yang pada dasarnya menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali perbuatan tersebut dilakukan sebelum ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (vide: Pasal 1 ayat (1) KUHP).

Di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Republik Indonesia tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2005) dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan tersebut dilakukan.

Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Republik Indonesia tahun 2005 rumusan kalimatnya menjadi lebih jelas dan tegas sebagaimana telah sesuai dengan asas lex certa dalam perumusan hukum pidana yang mengutamakan kejelasan, tidak multi tafsir dan ada kepastian di dalam perumusannya.

Penjelasan Pasal 1 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Republik Indonesia tahun 2005 tersebut menegaskan antara lain bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah tindakan kesewenang-wenangan dari para penegak hukum dalam menuntut dan juga mengadili orang yang diduga melakukan suatu tindak pidana. 

Pemberlakuan surut ketentuan pidana hanya dimungkinkan jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan. Adapun yang dimaksud yaitu apabila perundang-undangan yang baru justru lebih menguntungkan terdakwa maka perundang-undangan baru itulah yang diberlakukan kepada terdakwa.

Bertitik tolak dari uraian mengenai hukum positif dan Rancangan Undang-Undang (RUU) hukum pidana di atas, ada hal yang sangat penting untuk perlu diketahui oleh masyarakat luas yaitu uraian di atas mempertegas kembali bahwa ketentuan mengenai asas non retroaktif hanya secara tegas diatur dan diberlakukan dalam lingkup hukum pidana materiil saja bukan dalam lingkup hukum pidana formil (hukum acara pidana) dan bidang hukum administrasi. Hal mana dalam hukum administrasi memang tidak mempunyai landasan peraturan mengenai asas non retroaktif, baik dalam teori maupun dalam doktrin hukum administrasi.



Penjelasan mengenai Pasal 1 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Republik Indonesia tahun 2005 dan juga dalam doktrin hukum pidana sudah ditegaskan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan penegak hukum (penguasa ketika itu) dalam menerapkan ketentuan pidana terhadap seorang terdakwa. Dalam hal ini masyarakat luas harus dapat menangkap 2 (dua) hal yang sangat penting, yaitu:
  1. Kalimat mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum (penguasa); dan 
  2. Kalimat dalam penerapan ketentuan pidana, bukan ketentuan (sanksi) administrasi, dan bukan ketentuan mengenai wewenang untuk menangkap, menahan atau menuntut. 
Penegasan atas 2 (dua) hal tersebut hendak memberitahukan dan menjelaskan bahwa ketentuan mengenai asas non retroaktif hanya dalam konteks apakah suatu perbuatan itu dapat dipidana atau tidak ketika perbuatan itu dilakukan oleh suatu dasar aturan ketentuan pidana yang telah berlaku ketika itu, sehingga dengan demikian adresat dari pemberlakuan ketentuan mengenai asas non retroaktif adalah terhadap suatu tindak pidana semata-mata.

Seluruh uraian di atas merupakan hasil analisis mengenai penerapan penafsiran historis dan teologis, bukan semata-mata penafsiran secara gramatikal. Dalam kaitan ini, uraian di atas hendak menegaskan bahwa sejak kelahirannya, hukum pidana dibentuk untuk mengatur dan menerapkan sanksi pidana terhadap perbuatan seseorang (daad-strafrecht). 

Namun dalam perkembangannya kemudian dengan adanya pengaruh gerakan humanisme, maka hukum pidana juga memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan seseorang yang melakukan kejahatan atau tindak pidana. 

Akan tetapi ketika perbuatan itu dilakukan yang bersangkutan dalam keadaan masih di bawah umur atau dalam keadaan gila, maka pemberlakuan ketentuan pidana sebagaimana yang diatur memberikan pengecualian terhadap orang tersebut sehingga dalam doktrin hukum pidana muncul istilah yang dikenal yaitu daad- dader strafrecht.

Menurut pandangan beberapa para ahli bahwa sangatlah nyata, adresat hukum pidana adalah perbuatan seseorang yang melanggar aturan pidana dan bukan kepada status sosial atau status hukum orang yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Republik Indonesia tahun 2005 telah menegaskan beberapa kali tentang perbuatan dan tidak menyebutkan sama sekali tentang orang yang melakukan perbuatan.

Dalam perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait pelaku tindak pidana termasuk para koruptor kelas kakap, posisi yang bersangkutan (pelaku tindak pidana) tidak boleh dijadikan alas hukum untuk memberikan keistimewaan perlakuan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Jika dalam perkembangan praktik penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada orang-orang yang masih mengutamakan posisi atau status sosial atau status hukum pelaku tindak pidana tidak terbatas kepada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana di satu sisi (asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan obyeknya) dan hukum administrasi negara di sisi lain (tidak memahami arti dan makna spesialisasi).



Hukum Administrasi sejak awal kelahirannya dan juga perkembangannya di kemudian hari tidak berurusan dan tidak ada kaitannya dengan setiap pemegang jabatan di lingkungan eksekutif, legislatif atau judikatif atau di lembaga-lembaga negara lainnya yang menjadi tersangka melakukan tindak pidana tertentu. 

Hukum Administrasi negara hanya berurusan dengan atau mengatur tentang prosedur administrasi pemerintahan semata. Hukum administrasi negara tidak memberikan alasan hukum sekecil apapun untuk memberikan peluang perlakuan istimewa terhadap seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tertentu, apalagi ditengarai untuk memberikan “impunity” terhadap pejabat Negara atau penyelenggara negara yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu termasuk korupsi. 

Jika masih ada peraturan perundang-undangan yang memberikan keistimewaan perlakuan tersebut maka peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan secara diametral dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan perubahannya yang menyatakan secara eksplisit, hak setiap orang untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law) dalam posisi apapun juga selama dalam status tersangka, terdakwa maupun terpidana.

Mengenai pemberlakuan asas non retroaktif sebagaimana telah diuraikan di atas, ketentuan hukum pidana positif dan dalam penjelasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Republik Indonesia tahun 2005 telah ditegaskan bahwa asas non retroaktif adalah bersifat mutlak. 

Sesungguhnya jika mempelajari referensi hukum internasional mengenai kejahatan internasional atau hukum pidana internasional maka hukum kebiasaan internasional (international customary law) telah mengakui bahwa pemberlakuan asas non retroaktif tidak berlaku untuk kejahatan berat yang termasuk pelanggaran berat hak asasi manusia (gross-violation of human rights).

Adapun contoh kasus dapat dilihat pada proses peradilan yang dilakukan di Mahkamah Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan wilayah bekas jajahan negara Yugoslavia, hal mana seluruh prinsip-prinsip hukum yang diterapkan dalam proses peradilan Mahkamah-Mahkamah tersebut sudah mendapat pengakuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hukum internasional.

Hal ini karena dalam praktiknya, seluruh putusan Mahkamah tersebut bersifat mengikat dan mendapat pengakuan dari masyarakat internasional, maka dari itu seluruh terdakwa memiliki kewajiban untuk menjalani hukuman yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah tersebut.

Adapun pandangan para Ahli Hukum Pidana terhadap pemberlakuan asas ini ternyata masih belum ada kesamaan pendapat atau pandangan di antara para ahli. Pandangan konvensional masih menegaskan bahwa asas non retroaktif adalah asas hukum yang bersifat mutlak (vide: Pasal 2 RUU KUHP) dan asas hukum ini merupakan asas umum hukum pidana dan bersifat universal. 

Di dalam  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan perubahan kedua juga ditegaskan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khusus Pasal 28 I dengan pembatasan-pembatasan tertentu sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 28 J.

Dalam referensi tentang Hak Asasi Manusia (HAM), harus diketahui bahwa hak untuk tidak dituntut oleh undang-undang yang berlaku surut bukan hak absolut melainkan merupakan hak relatif. Sedangkan kalimat terakhir dari rumusan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan perubahannya, "dalam keadaan apapun" tidaklah sejalan dengan baik Pasal 28 J dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM PBB. 

Di sisi lain, pandangan modern terhadap penerapan asas non retroaktif adalah sejalan dengan perkembangan hukum pidana internasional dan perkembangan konvensi internasional tentang kejahatan trans nasional terorganisasi termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana terorisme dan tindak pidana narkotika dan perkembangan Konvensi Internasional mengenai Mahkamah Permanen Pidana Internasional (International Criminal Court). 

Pendapat atau pandangan modern abad ke-20 tentang penerapan asas non retroaktif menegaskan bahwa sesuai dengan perkembangan waktu dan dalam konteks kejahatan tertentu yang merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia (threaten to the peace and security of human kind), maka pemberlakuan asas hukum non-retroaktif dapat dikesampingkan, secara selektif dan terbatas.

Dalam kaitan ini sudah diterapkan sejak proses peradilan Mahkamah Nuremberg (1946) sampai dengan proses Ad hoc Tribunal untuk kasus kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di bekas jajahan Yugoslavia. Tindak pidana korupsi sudah dinyatakan dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi Indonesia sebagai pelanggaran hak ekonomi dan sosial masyarakat yang bersifat sistematik dan meluas sehingga digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Atas dasar itulah maka pemberlakuan surut Undang-Undang (UU) Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sah adanya dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Hal ini sejalan dengan pandangan Jan Remmelink tentang pemberlakuan surut ketentuan hukum pidana di Belanda.

Pandangan modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink (2003 :362) yang menegaskan bahwa daya kerja surut (retroaktif) dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam situasi hukum transisional sebagaimana pendapatnya diuraikan sebagai suatu fungsi penting diperankan ayat (2) Pasal 1 yang merupakan pengecualian apabila tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang termaktub dalam ayat (1).

Dalam kaitan bunyi Pasal 1 ayat (2) dan berdasarkan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan undang-undang mana yang diberlakukan dalam situasi hukum transisional dan dalam uraiannya, 

Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu, undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan. Secara tegas Remmelink (hlm. 365-366) mengatakan bahwa ada 2 (dua) alternatif penafsiran terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu :
  1. Ajaran Formil; dan 
  2. Ajaran Materiil.


Sejauh menurut ajaran formil maka istilah “wetgeving” (pembuat perundang-undangan) dalam ketentuan (KUHP Belanda) sebagai strafwetgeving, jadi dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (strafbaarfeit). Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat diabaikan. 

Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa dari atau melalui perubahan ini (undang-undang) harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan (kepatutan) tindakan tersebut untuk diancam pidana. 

Syarat ini digunakan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda yang menyebutnya sebagai penafsiran kreatif-restriktif, bukan demi keuntungan namun justru untuk kerugian pada terdakwa sebagaimana dijelaskan oleh Remmelink (hlm. 367).

Diakui pula bahwa cara pandang konservatif dalam konteks situasi hukum transisional masih menganut paradigma lama yaitu lebih mengedepankan asas kepastian hukum bagi terdakwa, akan tetapi mengabaikan sisi keadilan bagi korban dan sisi kemanfaatan terbesar bagi masyarakat luas. 

Paradigma tersebut juga bertentangan dengan kedudukan hukum pidana dalam pohon Ilmu Hukum yang terletak pada hukum publik bukan hukum administrasi atau hukum perdata. Implikasi dari kedudukan hukum pidana tersebut adalah ia harus bersifat public-rechtelijke (implisit kepentingan negara dan masyarakat luas) dari pada privaat-rechtleijke (orang perorangan). 

Selain itu, kedudukan hukum pidana tersebut memiliki implikasi juga terhadap pertanyaan tentang untuk kepentingan hukum siapa hukum pidana itu dibentuk dan diberlakukan serta untuk tujuan apa hukum pidana itu dibentuk.

Berangkat dari sifat dan hakikat kedua pertanyaan mendasar tersebut diatas, maka sekalipun dengan pro dan kontra tidaklah salah jika ditegaskan di sini bahwa sisi kepastian hukum harus dilihat dalam konteks sisi perlindungan hak asasi tersangka/ terdakwa yaitu kepastian hak-hak memperoleh bantuan hukum, peradilan yang jujur dan adil, dan hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. 

Namun demikian seluruh hak-hak asasi tersebut juga harus diseimbangkan dalam pendakwaan dan putusan pengadilan dengan seberapa jauhkah negara (masyarakat luas) sudah terlindungi (asas keadilan korban dan kemanfaatan terbanyak) dari ancaman dan bahaya perbuatan tersangka/ terdakwa yang bersangkutan, bukan hanya untuk hari ini (fungsi represif) akan tetapi untuk calon-calon tersangka/terdakwa di masa yang akan datang (fungsi preventif).

Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup se-Asia, dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun, yang sudah mencapai 50%, kiranya sudah tidak dapat ditolerir lagi pendapat yang mengatakan bahwa korupsi hanya merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) bukan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes)

Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan dua ratus juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah bersifat sistematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam Bagian Menimbang huruf (a) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 menegaskan antara lain sebagai berikut:
“bahwa tindak pidana korupsi …tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas…”. 
Bertitik tolak kepada fakta korupsi di Indonesia dan mengacu kepada hukum positif tentang Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat luas. 

Pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau “extra-ordinary crimes” (lihat alinea kedua baris ke-4 dari bawah, penjelasan umum UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK).

Sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan pembentukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2002 juga telah diuraikan antara lain sebagai berikut:
 “…karena itu maka tindak pidana korupsi (tipikor) tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Begitu pun juga di dalam upaya pemberantasannya, tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut dengan cara - cara yang luar biasa.”
Bertolak dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia sampai saat ini, maka sudah jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR bersama-sama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan korupsi. 

Bangsa Indonesia juga telah menetapkan tindak pidana korupsi (tipikor) sebagai kejahatan luar biasa atau dikenal dengan istilah “extra ordinary crimes” sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas. Sehingga dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor) sudah memiliki landasan filosofis, yuridis dan konstitusional serta landasan sosiologis dalam menegaskan pemberlakuan asas non retroaktif terhadap tindak pidana korupsi (tipikor) yang terjadi sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. 

Atas dasar uraian tersebut maka tidak ada lagi dalih atau pertimbangan apapun untuk menyatakan bahwa keberadaan dan keberlakuan undang-undang tersebut tidak berlaku surut. Demikian penjelasan singkat mengenai asas non retroaktif yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: