BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Instrumen Hukum yang berkaitan dengan Restitusi

Instrumen Hukum yang berkaitan dengan Restitusi
Restitusi merupakan pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/ atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia sendiri, saat ini ada beberapa perundangan-undangan yang mengatur mengenai Restitusi atau ganti kerugian diantaranya terdapat dalam :
  1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
  2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer);
  3. Undang-Undang. No. 8 Tahun 1981(KUHAP);
  4. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
  5. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak;
  6. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
  7. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
  8. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban; dan
  9. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Pengaturan mengenai ganti rugi terdapat di dalam Pasal 14 C Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa:
"Apabila hakim menjatuhkan pidana percobaan, maka di samping penetapan syarat umum bahwa terhukum tidak akan melakukan tindak pidana, dapat pula ditetapkan syarat khusus bahwa terhukum dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu."
Adapun rumusan-rumusan pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih berorieantasi terhadap pelaku, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkrit atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban misalnya dalam hal penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban, sehingga di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga tidak dirumuskan mengenai adanya jenis pidana restitusi yang dapat bermanfaat bagi korban dan/ atau keluarga korban.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Selanjutnya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga lebih banyak mengatur mengenai perlindungan terhadap tersangka dibandingkan perlindungan terhadap korban kejahatan. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan berupa proses pemberian ganti kerugian yang akan diberikan dan diterima oleh korban tindak kejahatan bisa dilakukan lebih cepat, dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan ganti kerugian yang pada hakikatnya merupakan perkara perdata. 

Hak menuntut ganti atas kerugian yang diderita dari akibat tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sebenarnya lebih dekat dengan sistem ganti kerugian yang bersifat keperdataan dapat dijumpai dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).  Adapun asas penggabungan perkara ganti kerugian pada perkara pidana dapat disebutkan sebagai berikut :
  1. Merupakan praktik penegakan hukum berdasarkan ciptaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri bagi proses beracara (pidana dengan perdata) untuk peradilan di Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi prosedur hukum bagi seorang korban atau beberapa korban tindak pidana untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung;
  2. Penggabungan pemeriksaan dan putusan gugatan ganti kerugian pada perkara pidana sekaligus adalah sesuai dengan asas keseimbangan yang dimaksud Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 
Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian harus memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Haruslah berupa dan merupakan kerugian yang dialami oleh orang lain termasuk korban (saksi korban) sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
  2. Jumlah besarnya ganti kerugian yang dapat diminta hanya terbatas sebesar jumlah kerugian material yang diderita orang lain termasuk korban tersebut;
  3. Bahwa sasaran subjek hukumnya pihak-pihak adalah terdakwa;
  4. Penuntutan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara pidananya tersebut hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajaukan tuntutan pidana (requisitor);
  5. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, tuntutan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan;
  6. Perkara pidananya tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kerugian bagi orang lain termasuk kerugian pada korban;
  7. Penuntutan gugatan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara pidana tersebut tidak perlu diajukan melalui panitera pengadilan negeri, melainkan dapat langsung diajukan dalam sidang pengadilan melalui majelis hakim/ hakim;
  8. Gugatan ganti kerugian pada Pasal 98 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah harus sebagai akibat kerugian yang timbul karena perbuatan terdakwa dan tidak mengenai kerugian-kerugian lainnya.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
Ganti kerugian juga diatur dalam hukum perdata yaitu Pasal 1365 sampai dengan Pasal1380 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPer menyatakan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal-Pasal tersebut semuanya mengatur tentang tuntutan ganti rugi dalam arti perbuatan melanggar hukum. Jika seorang telah melanggar suatu perbuatan melanggar hukum dan telah terbukti suatu kejahatannya maka dirinya dapat dilakukan penuntutan pengganti kerugian. Menurut Munir Faudy, perbuatan melawan hukum adalah sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan:
  1. Untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya;
  2. Untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial; dan
  3. Untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat
Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. 

Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat.

Pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan Cohen. Hoge Raad memberikan pertimbangan bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikan suatu perbuatan atau kealpaan yang atau bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan baik dengan kesusilaan baik pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Pengaturan mengenai restitusi dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM hanya diatur secara eksplisit di dalam pada Pasal 35 yang berbunyi bahwa setiap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. 

Pada ayat selanjutnya menyebutkan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Pada akhir pasal yakni ayat 3 ketentuan ini disebutkan bahwa ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi di atur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. 

Dalam peraturan perundangan-undangan ini jelas dikatakan bahwa restitusi hanya dapat diberikan kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat. Ketentuan mengenai Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi bagi Korban Pelanggaran HAM yang berat yang juga dapat diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. 

Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
Selanjutnya di dalam Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 50 sebagaimana berikut di bawah ini: 

Pasal 48 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
  1. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.
  2. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:
    • Kehilangan kekayaan atau penghasilan; 
    • Penderitaan; 
    • Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/ atau psikologis; dan/ atau 
    • Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. 
  3. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang. 
  4. Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.
  5. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat di titipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus. 
  6. Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  7. Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkatbanding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan. 
Pasal 49 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
  1. Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut. 
  2. Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
  3. Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya. 
Pasal 50 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
  1. Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (6), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.
  2. Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.
  3. Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi. 
  4. Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pengaturan mengenai Restitusi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat di dalam Pasal 7 ayat (b) yang berbunyi sebagai berikut: 
"Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana".
Dalam undang-undang ini dikatakan bahwa korban dapat mengajukan hal tersebut melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Adapun keputusan mengenai restitusi ini nantinya diberikan oleh Pengadilan. Dalam Pasal 7 ayat 3 tersebut juga dikatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Kompensasi dan Restitusi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga telah mengatur pemberian restitusi bagi anak korban tindak pidana kejahatan yang terdapat dalam Pasal 71D (1) yang menyatakan bahwa setiap anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d,huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak  mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan. 

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008
Dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 33. Dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang pemberian restitusi oleh pelaku tindak pidana kepada korban dan/ atau keluarga korban sebagai bentuk perlindungan atas penderitaan yang telah dialaminya. 

Pemberian restitusi dilakukan dengan cara mengajukan permohonan oleh korban, keluarga korban atau kuasanya kepada pengadilan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun Peraturan Pemerintah ini sudah tidak berlaku lagi sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban dimana aturan mengenai restitusi diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 36.

Pengadilan yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini adalah Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana yang bersangkutan. Permohonan restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pengadilan tersebut telah menyatakan bahwa pelaku tindak pidana bersalah. 

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada Pengadilan Negeri untuk mendapat penetapan. Permohonan restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum. Kemudian penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan restitusi beserta keputusan dan pertimbangannya untuk mendapat putusan pengadilan. 

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017
Selanjutnya pada tanggal 16 Oktober 2017 Presiden Republik Indonesia telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi anak yang menjadi Korban Tindak Pidana merupakan langkah maju dalam memastikan anak mendapatkan perlindungan hukum negara. 

Para pelaku kejahatan terhadap anak saat ini tidak saja mendapat hukuman penjara dan atau denda, tetapi juga, para pelaku kejahatan terhadap anak diwajibkan untuk membayar restitusi kepada korban dan ahli warisnya dalam bentuk ganti kerugian material dan immaterial. Peraturan Pemerintah ini sendiri terdiri dari 4 (empat) bab dan 23 (dua puluh tiga). Pasal ini berisi mengenai tata cara pengajuan permohonan restitusi hingga mengatur mengenai pemberian restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana.  

Demikian penjelasan singkat mengenai Instrumen Hukum yang berkaitan dengan Restitusi yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: