BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Mekanisme Pengajuan Restitusi

Mekanisme Pengajuan Restitusi
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana merupakan amanat dari Pasal 71D ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang di dalamnya disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa kejahatan terhadap anak tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis yang mempengaruhi tumbuh kembang dan kualitas hidup anak. Namun menimbulkan kerugian materil maupun imateriil bagi pihak keluarga. Oleh karena itu, sangatlah tepat bila pengertian restitusi diartikan sebagai pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/ atau imateril yang diderita korban atau ahli warisnya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut.

Sebelum terbitnya Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tersebut, mekanisme Pengajuan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana terkhususnya Tindak Pidana Perdagangan Orang masih mengacu kepada apa yang tertuang di dalam Pasal 48 Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Permohonan ganti rugi berupa restitusi dapat diajukan oleh korban melalui 2 (dua) cara, yaitu sebagai berikut: 
  1. Korban mengajukan restitusi sejak korban melaporkan kasus pidananya ke kepolisian setempat;
  2. Korban dapat memohon restitusi dengan cara mengajukan sendiri gugatan perdata atas kerugian yang dialami ke Pengadilan Negeri setempat. 
Mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.

Sewaktu korban Tindak Pidana Perdagangan Orang melaporkan kasusnya ke kepolisian kemudian pihak kepolisian pada saat menerima pengaduan dari korban atau keluarga wajib memasukan restitusi dalam Berita Acara Pemeriksaann (BAP), Pada saat kasus dilimpahkan ke kejaksaan, maka Penuntut Umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi dan menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban bersamaan dengan tuntutan. 

Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan oleh hakim sekaligus dalam amar putusan di Pengadilan Negeri tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Restitusi juga dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus dan diberikan kepada korban atau keluarga dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap. Permohonan restitusi juga dapat dilakukan dengan cara korban mengajukan sendiri gugatan restitusi melalui gugatan perdata.

Selain diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, mekanisme pengajuan restitusi sebelumnya juga terdapat di dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Dalam Pasal 20 ayat (3) disebutkan bahwa permohonan untuk memperoleh restitusi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermatrai cukup kepada pengadilan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). 

Selanjutnya dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus memeriksa kelengkapan permohonan restitusi dari korban paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan restitusi diterima dan sekaligus memberitahukan kepada korban untuk melengkapi laporannya apabila terdapat kekurangan kelengkapan dalam permohonan tersebut. 

Selanjutnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung dari sejak tanggal permohonan menerima pemberitahuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pemohon wajib melengkapi laporannya dan jika tidak dilengkapi maka akan dianggap pemohon mencabut permohonannya. Hasil pemeriksaan permohonan Restitusi tersebut kemudian ditetapkan dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang disertai dengan pertimbangannya yang di dalamnya terdapat rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak permohonan restitusi. 

Dalam Peraturan Perundang-undangan ini Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sangat berperan dalam pemenuhan hak-hak korban karena dalam mekanisme yang diatur di PP tersebut korban mengajukan haknya langsung melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dalam Peraturan Pemerintah ini tidak ada disebutkan restitusi diajukan pada tahap penyidikan atau kepolisian akan tetapi hasil keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tersebut nantinya akan disampaikan langsung kepada penuntut umum pada tahap pengadilan. 

Hal ini berbeda dengan mekanisme yang terdapat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dimana korban dapat mengajukan permohonan dalam tahap penyidikan atau pada pihak kepolisian, disamping itu Korban juga dapat mengajukan permohonannya pada tahap penuntutan. Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2017 mengatur bahwa setiap anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi. Namun tidak semua kategori tindak pidana yang dimaksudkan. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa anak yang menjadi korban tindak pidana yang dimaksudkan adalah: 
  1. Anak yang berhadapan dengan hukum;
  2. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual; 
  3. Anak yang menjadi korban pornografi; 
  4. Anak korban penculikan, penjualan dan/ atau perdagangan; 
  5. Anak korban kekerasan fisik dan/ atau psikis; dan 
  6. Anak korban kejahatan seksual. 
Hal ini juga sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 71 D Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini juga disebutkan bahwa anak yang mempunyai hak untuk mendapatkan restitusi akibat dari tindak pidana adalah:
  1. Anak yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun yang berhadapan dengan hukum;
  2. Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak;
  3. Anak korban kekerasan seksual;
  4. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan seksual; dan 
  5. Anak korban kekerasan seksual.  
Pemberian Restitusi kepada Anak yang menjadi korban tindak pidana harus dilaksanakan secara tepat, tidak salah sasaran serta tidak disalahgunakan. Restitusi harus diberikan dan diterima oleh Anak yang menjadi korban tindak pidana atau pihak korban sesuai dengan kerugian dan kondisi Anak yang menjadi korban tindak pidana. Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai tata cara pengajuan dan pemberian Restitusi kepada Anak yang menjadi korban tindak pidana dengan harapan akan memperjelas persyaratan bagi pihak korban untuk mengajukan permohonan Restitusi yang dilaksanakan sejak kasusnya berada pada tahap penyidikan maupun penuntutan. Selain itu, untuk memperjelas penyidik dan penuntut umum agar dapat membantu Anak yang menjadi korban tindak pidana dan pihak korban untuk mendapatkan hak memperoleh Restitusi.

Adapun pokok-pokok pembahasan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang menjadi korban tindak pidana adalah sebagai berikut : 

Bentuk Restitusi 
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 2017 ini, bentuk restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dapat berupa: 
  1. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan; 
  2. Ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana; 
  3. Penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis. 
Adapun besaran resitusi yang dibayarkan oleh pelaku akan ditetapkan besarannya oleh pengadilan yang memeriksa. Namun hingga saat ini belum ada ketentuan yang mengatur apakah atas penetapan besarannya restitusi tersebut dapat diajukan banding atau tidak.

Prosedur Permohonan Restitusi 
Adapun restitusi ini dapat di ajukan oleh pihak korban yang termasuk di dalamnya adalah orang tua atau wali anak yang menjadi korban pidana, ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana dan orang yang diberi kuasa oleh orang tua, wali, atau ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana dengan surat kuasa khusus. Permohonan restitusi ini juga dapat di ajukan oleh lembaga. 

Dalam hal mengajukan permohonan restitusi dapat diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia di atas kertas bermatrai ke pengadilan. Adapun Pengajuan tersebut paling sedikit harus memuat tentang: 
  1. Identitas Pemohon; 
  2. Identitas pelaku; 
  3. Uraian tentang peristiwa pidana yang dialami; 
  4. Uraian kerugian yang diderita, hal ini juga harus disertai dengan bukti kerugian yang sah;
  5. Besaran atau jumlah Restitusi. 
Adapun yang dimaksud dengan Identitas Pemohon antara lain harus memuat nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan, dan alamat. Identitas pemohon tersebut juga harus diisi dan dijelaskan mengenai hubungan antara pemohon dan Anak yang menjadi korban tindak pidana. Selanjutnya yang dimaksud dengan identitas anak yang menjadi korban tindak pidana antara lain juga harus dibuktikan dengan akta kelahiran, surat kenal lahir, ijazah, surat baptis dari tokoh agama, kartu identitas anak, surat keterangan temuan Anak dari kepolisian atau surat keterangan dari kelurahan/ kepala desa setempat.

Mengenai bukti kerugian yang sah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b tersebut merupakan hal yang wajib untuk turut dilampirkan di dalam permohonan karena apabila tidak dilampirkan maka akan menjadi sulit untuk menghitung jumlah kerugian yang akan dimintakan, jika tidak ada bukti kerugian tersebut, maka yang diajukan hanyalah kerugian immateril saja.

Lebih lanjut Azmiati Zuliah selaku Koordinator PUSPA-PKPA (Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) menambahkan mengenai angka nominal perhitungan kerugian korban hanya berdasarkan hasil diskusi pendamping/ lembaga dengan keluarga korban setelah dirinci atas kerugian materil dan immateril yang dialaminya. Dalam hal ini lembaga/ pendamping yang akan mengusulkan dan menghitung besaran kerugian dirinci atas kerugian psikologis, seksual ataupun kerugian materil yang ditimbulkan akibat penderitaan yang dialami oleh korban.

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, terdapat juga beberapa hal yang harus dilampirkan dalam permohonan pengajuan restitusi tersebut yaitu sebagai berikut: 
  1. Jika anak yang menjadi korban tindak pidana meninggal dunia harus melampirkan fotokopi surat keterangan kematian yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang; dan 
  2. Bukti surat kuasa khusus jika permohonan diajukan oleh kuasa Orang Tua, Wali, dan Anak yang menjadi korban tindak pidana. 
Proses Permohonan 
Restitusi Proses Permohonan Restitusi dituangkan dalam ketentuan Pasal 10 sampai dengan Pasal 18. Dalam Pasal 11 dijelaskan bahwa dalam melakukan proses permohonan restitusi tersebut penyidik harus memberitahukan kepada pihak korban pada tahap penyidikan mengenai hak anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan restitusi dan tata cara pengajuannya. Atas pemberitahuan ini pihak korban memiliki waktu paling lama 3 (tiga) hari untuk mengajukan permohonan restitusi. 

Selanjutnya penyidik memeriksa kelengkapan berkas permohonan paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterimanya pengajuan permohonan. Jika ada kekurangan kelengkapan permohonan penyidik memberitahukan kepada pemohon agar permohonannya dilengkapi. Dalam hal ini waktu bagi pemohon untuk melengkapi permohonan adalah 3 (tiga) hari sejak diterimanya pemberitahuan tersebut. Jika permohonan tersebut tidak dilengkapi, maka pemohon dianggap belum mengajukan permohonan. 

Pasal 12 Peraturan Pemerintah ini menyebutkan bahwa penyidik dapat meminta penilaian besaran permohonan restitusi yang diajukan. Hal ini hanya bisa diminta penyidik apabila permohonan restitusi pemohon dinyatakan lengkap atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyampaikan hasil penilaian besaran permohonan restitusi berdasarkan dokumen yang disampaikan penidik paling lama tujuh hari setelah permohonan penilaian restitusi diterima. Kemudian permohonan restitusi yang dinyatakan lengkap dikirim penyidik dengan dilampirkan dalam berkas perkara ke penuntut umum. 

Apabila permohonan restitusi saat tahap penuntuan, maka penuntut umum memberitahukan kepada pihak korban untuk mendapatkan restitusi dan tata cara pengajuannya sebelum dan/ atau dalam proses persidangan. Jika pelaku merupakan anak, maka penuntut umum memberitahukan hak anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan restitusi pada saat proses diversi. Waktu permohonan hingga kekurang lengkapan permohonan pada tahap penuntutan sama dengan tahap penyidikan. Apabila permohonan dianggap sudah lengkap, maka penuntut umum dalam tuntutannya kemudian harus mencantumkan permohonan restitusi sesuai dengan fakta persidangan yang didukung dengan alat bukti. 

Selain melalui tahap penyidikan dan penuntutan, dalam pasal 6 disebutkan bahwa Permohonan Restitusi juga dapat diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan tersebut dapat diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 31 tahun 2014 disebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat mengajukan permohonan restitusi setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap untuk selanjutnya mendapatkan penetapan dari pengadilan. Adapun permohonan restitusi tersebut diajukan korban kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan setelah itu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memeriksa kelengkapan laporan dari pemohon. 

Hasil pemeriksaan permohonan Restitusi tersebut nantinya akan ditetapkan dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang disertai dengan dasar-dasar pertimbangannya. Kemudian hasil pertimbangan inilah yang nantinya diajukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kepada pengadilan yang berwenang. 

Selanjutnya pengadilan akan memeriksa dan menetapkan permohonan restitusi tersebut dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima. Mekanisme ini dapat memberikan kesempatan kembali kepada korban untuk dapat mengajukan hak-haknya yang sebelumnya tidak terpenuhi pada tahap penuntutan dan penyidikan. 

Tata Cara Pemberian Restitusi
Pemberian Restitusi di tegaskan dalam Ketentuan Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 yang di dalamnya diatur adalah sebagai berikut:
  1. Panitera Pengadilan mengirimkan salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang memuat pemberian restitusi kepada Jaksa;
  2. Dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya putusan tersebut, Jaksa wajib menyampaikan kepada pelaku dan pihak korban; 
  3. Pelaku wajib memberikan restitusi kepada pihak korban dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan putusan tersebut dalam Berita Acara Pelaksanaan Putusan. Jika pelakunya adalah anak maka pemberian restitusi dilakukan oleh orang tuanya; 
  4. Setelah pelaku memberikan restitusi kepada pihak korban, ia wajib melaporkan kepada Pengadilan dan Kejaksaan; 
  5. Kemudian Pengadilan mengumumkan pelaksanaan pemberian restitusi, baik melalui media elektronik maupun non elektronik.  
Terkait dengan Lembaga yang berwenang untuk mendampingi anak dalam hal pengajuan restitusi sebagaimana yang terdapat dalam bunyi Pasal 4 ayat (3) dikatakan bahwa dalam hal pihak korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b sebagai pelaku tindak pidana, permohonan untuk memperoleh Restitusi dapat diajukan oleh Lembaga. Dalam hal ini anak sebagai korban tindak pidana dapat di dampingi oleh Lembaga yang berkaitan dengan Perlindungan Anak antara lain:
  1. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK);
  2. Lembaga Bantuan Hukum; dan 
  3. Lembaga yang menangani perlindungan Anak.
Ada salah satu lembaga yang menangani perlindungan anak adalah PKPA (Pusat Kajian Perlindungan Anak). Dalam hal ini PKPA (Pusat Kajian Perlindungan Anak) terbagi dalam beberapa unit kerja yang salah satunya adalah PUSPA (Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak) yang diantaranya melayani beberapa hal sebagai berikut:
  1. Konsultasi hukum tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap anak; 
  2. Pendampingan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan;
  3. Pendampingan hukum, konseling, re-integrasi anak korban kekerasan, trafficking anak dan eksploitasi. 
Dalam hal ini PKPA (Pusat Kajian Perlindungan Anak) juga menjadi lembaga pendamping bagi anak-anak yang menjadi korban tindak pidana. Dalam penanganan kasus-kasus yang pernah ditangani oleh PKPA (Pusat Kajian Perlindungan Anak) tidak seluruhnya diajukan restitusi, adapun alasan mengapa tidak diajukan karena aparat penegak hukum tidak memasukan restitusi sejak awal dalam proses penyidikan di kepolisian. 

Demikian penjelasan singkat mengenai Mekanisme Pengajuan Restitusi yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: