BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Nikah Siri

Nikah Siri
Kata siri berasal kata sirri yang berasal dari bahasa arab "sirra" atau "israr" yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti "rahasia". Pengertian kata tersebut merujuk pada konsep pemikiran yang menyatakan perkawinan menjadi sah apabila diketahui oleh orang banyak. Berikut beberapa pengertian nikah siri yang berkembang dalam masyarakat di Indonesia :

Pernikahan tanpa Wali
Pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali khususnya wali dari pihak perempuan. Hal mana jika pernikahan dilakukan maka secara hukum negara dan hukum agama, pernikahan itu menjadi tidak sah. Hal ini dikarenakan dalam agama khususnya agama islam melarang wanita untuk menikah dengan seorang pria tanpa adanya persetujuan dan keberadaan wali. Adapun beberapa alasan pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali, yakni :
  1. Wali dari pihak perempuan tidak menyetujui pernikahan dengan calon pengantin pria;
  2. Salah satu pasangan hanya ingin memuaskan hawa nafsu semata tanpa memperhatikan ketentuan - ketentuan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia.
Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatat oleh negara
Pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk yang beragama islam dan pencatatan di lembaga pencatatan sipil untuk yang beragama non-islam sering dilakukan karena disebabkan oleh beberapa faktor penyebab yang salah satu diantaranya, yakni :
  1. Faktor biaya yang dikeluarkan lebih murah;
  2. Faktor proses yang lebih cepat tanpa melibatkan banyak pihak;
  3. Faktor peraturan perundang - undangan yang mengikat seperti contohnya ketentuan yang melarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menikah lebih dari 1 (satu) kali atau istilah yang lazim dikenal dengan sebutan poligami / poliandri.
Pernikahan yang dirahasiakan
Pernikahan yang dirahasiakan karena adanya pertimbangan - pertimbangan tertentu, misalnya seperti :
  1. Untuk menghindari fitnah dari masyarakat sekitar;
  2. Pengantin perempuan hamil di luar pernikahan;
  3. Pasangan tersebut telah melakukan zinah (berhubungan badan).
Adapun pernikahan yang dilakukan secara siri (nikah siri) menimbulkan 2 (dua) konsekuensi hukum yang berbeda, yaitu :
  1. Hukum Agama
    Di dalam hukum agama, salah satunya syarat sahnya suatu pernikahan yakni adanya persetujuan dan keberadaan wali dari pihak perempuan. Jika perkawinan tetap dilakukan tanpa adanya persetujuan dan keberadaan wali, maka secara hukum agama islam pernikahan itu menjadi tidak sah dan menjadi perbuatan yang berdosa;
  2. Hukum Negara
    Hal mana untuk setiap pernikahan di Indonesia diharuskan dicatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) untuk pasangan yang beragama islam dan Kantor Pencatatan Sipil untuk pasangan yang beragama non - islam sebagaimana ketentuan pencatatan yang diatur pada Pasal 2 ayat (2) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa tiap - tiap perkawinan dicatat menurut ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku. Sehingga jika perkawinan dilaksanakan tanpa adanya pencatatan oleh negara maka akan mengalami kesulitan dalam proses administrasi yang diselenggarakan oleh negara seperti pengurusan Kartu Keluarga (KK) dan Akta Kelahiran jika lahir anak dalam pernikahan siri tersebut.
Pada dasarnya dalam hukum positif Indonesia tidak mengenal nikah siri (pernikahan secara rahasia), hal ini dikarenakan pengertian nikah siri yang berkembang di Indonesia sebagai pernikahan yang tidak dicatat oleh negara (Lembaga Pencatatan Sipil atau Kantor Urusan Agama) sebagaimana ketentuan yang diatur pada Pasal 2 ayat (2) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa :
"Tiap - tiap perkawinan dicatat menurut ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku"
Akan tetapi pencatatan perkawinan yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) UUndang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menunjukkan bahwa pencatatan perkawinan berdasarkan undang - undang memiliki kedudukan yang sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan yang bersangkutan.

Oleh sebab itu, perlu diketahui bahwa perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing - masing merupakan syarat tunggal untuk mengesahkan suatu perkawinan sebagaimana ditentukan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa :
"Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing - masing agama dan kepercayaannya."
Beberapa pakar dan ahli memberikan pendapat bahwa pencatatan sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 2 ayat (2) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya berfungsi sebagai pencatat suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang sebagaimana peristiwa penting lainnya, sehingga tidak memiliki akibat hukum jika tidak dilakukan pencatatan dalam suatu perkawinan.

Pencatatan perkawinan merupakan salah satu pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang yang dimuat dalam daftar pencatatan negara seperti untuk pasangan yang beragama islam pencatatan perkawinan dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan untuk pasangan beragama non - islam dicatatkan di Lembaga Pencatatan Sipil. 

Perkawinan yang dilakukan secara siri (nikah siri) dapat mengakibatkan beberapa hal yang tidak diinginkan dan perlu diwaspadai oleh pasangan yang akan atau telah melakukan pernikahan secara siri terkhususnya pada wanita (istri) sebagaimana beberapa kerugian yang mungkin akan didapatkan dari pernikahan yang dilakukan secara siri di bawah ini :
  1. Tidak adanya kepastian hukum
    hal mana tidak adanya ikatan hukum yang sah dan mengikat bagi pasangan yang melakukan pernikahan secara siri sehingga apabila setelah pernikahan dilaksanakan kemudian terjadi tindakan yang tidak diinginkan bisa mengakibatkan kerugian bagi dirinya seperti salah satunya mengenai kewajiban dari suami untuk memberikan nafkah lahir dan bathin kepada istri.
  2. Tidak dapat menggugat cerai
    Wanita yang melakukan pernikahan secara siri tidak dapat menggugat cerai suaminya, hal ini dikarenakan hak untuk melakukan talak ada pada suami. Oleh sebab itu perlunya pencatatan pernikahan di Kantor Pencatatan Sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini dimaksudkan karena tanpa adanya pencatatan tersebut, maka istri tidak dapat menuntut cerai walaupun suami melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki kepada istrinya seperti tindakan kekerasan atau lain sebagainya.
  3. Anak tidak memiliki kepastian hukum
    Anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan secara siri tidak memiliki kepastian dan kejelasan hukum. Hal ini disebabkan oleh perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya tidak tercatat dalam lembaga pencatatan sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini kemudian menimbulkan resiko kepada anak dan ibunya yang apabila suatu waktu ditinggalkan atau sang suami meninggal dunia atau menjatuhkan talak kepada istrinya, maka secara administrasi negara anak dan ibunya tidak memiliki hak untuk mendapatkan warisan.
  4. Pengurusan administrasi negara menjadi sulit
    Pasangan yang melakukan pernikahan secara siri akan mengalami kesulitan dalam pengurusan administrasi negara, seperti mengenai status hukum keluarganya yang tidak teregister oleh lembaga terkait. Beberapa contohnya seperti :
    • Kartu Tanda Penduduk (KTP), hal mana status perkawinan tidak dapat dirubah karena pernikahan yang dilakukan tidak tercatat pada lembaga pencatatan sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA);
    • Kartu Keluarga (KK), sama halnya dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang juga akan mengalami kesulitan dalam perubahan ataupun pembuatan Kartu Keluarga (KK) karena pernikahan yang dilakukan tidak tercatat pada lembaga pencatatan sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA);
    • Akte kelahiran, hal mana anak yang lahir dari pasangan yang melakukan pernikahan secara siri akan mengalami kesulitan ketika mengurus akta kelahiran anaknya karena pernikahan yang dilakukan tidak tercatat pada lembaga pencatatan sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA).
Berdasarkan penjelasan singkat di atas menggambarkan perlunya pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk yang beragama islam dan Lembaga Pencatatan Sipil untuk yang beragama non - islam untuk mendapatkan kepastian hukum baik bagi pasangannya itu sendiri maupun juga untuk anak - anaknya. Sehingga negara memberikan solusi bagi pasangan yang sudah terlanjur melaksanakan pernikahan secara siri dengan mengulang akad nikah yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal mana maksud dan tujuan pengulangan akad nikah ini untuk kepentingan administrasi negara yang sama sekali tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) dalam memberikan kepastian hukum kepada para pasangan suami istri. Salah satu contoh kongkrit yang dapat diketahui yakni dengan adanya pencatatan perkawinan tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti (validitas) perkawinan yang sah untuk memperoleh hak waris jika salah satu dari pasangan meninggal dunia.

Dalam hukum positif Indonesia mengenal hukum perkawinan berdasarkan ajaran dan kaidah - kaidah Islam bagi orang yang beragama islam, demikian pula bagi orang - orang yang beragama Nasrani, Hindu, Budha yang melaksanakan perkawinan berdasarkan dengan ajaran dan kaidah - kaidah agama masing - masing. Oleh sebab itu, negara memiliki kewajiban untuk membantu menjalankan hukum perkawinan yang diajarkan dan dianut oleh agama masing - masing.  Adapun mengenai kewajiban tersebut telah ditentukan dalam peraturan perundang - undangan sebagaimana di bawah ini :
  1. Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;
  2. Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  3. Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah oleh Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
  4. Peraturan Menteri Agama (Permenag) Republik Indonesia No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.
Saat ini pernikahan yang dilakukan secara siri (nikah siri) telah mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dan pembuat undang - undang sebagaimana rumusan pasal yang diatur pada beberapa pasal dalam Rancangan Undang - Undang Kitab Undang - undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang sekiramya isi pasalnya sebagai berikut :
  1. Pasal 143 Rancangan Undang - Undang Kitab Undang - undang Hukum Pidana (RUU KUHP)
    Pada ketentuan Pasal 143 Rancangan Undang - Undang Kitab Undang - undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ini hanya diperuntukkan bagi warga negara yang beragama islam, hal mana pada ketentuan pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melaksanakan perkawinan yang dilakukan secara rahasia atau tanpa dihadapan pejabat pencatatan sipil atau pejabat Kantor Urusan Agama (KUA), maka yang bersangkutan akan dipidana dengan ancaman hukuman penjara serendah - rendahnya selama 6 (enam) bulan dan paling lama selama 3 (tiga) tahun dan yang bersangkutan mendapatkan pidana denda sekurang - kurangnya sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) dan maksimal dendanya sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Selain itu juga, pada Rancangan Undang - Undang Kitab Undang - undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ini juga menyinggung mengenai kawin kontrak (mut'ah).
  2. Pasal 144 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang - undang Hukum Pidana (RUU KUHP)
    Pada ketentuan Pasal 144 Rancangan Undang - Undang Kitab Undang - undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perkawinan kontrak (mut'ah) dihukum penjara selama - lamanya 3 (tiga) tahun dan perkawinannya kemudian batal karena hukum. 
Pada Rancangan Undang - Undang Kitab Undang - undang Hukum Pidana (RUU KUHP) juga mengatur soal perkawinan campur yakni antar 2 (dua) orang yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Pada ketentuan Pasal 142 ayat (3) Rancangan Undang - Undang Kitab Undang - undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menyebutkan bahwa calon suami yang berkewarganegaraan asing (WNA) diharuskan memberikan uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah dengan nilai jaminan uang sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Demikian penjelasan singkat mengenai nikah siri, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca. Jikalau ada pertanyaan sehubungan dengan tulisan dalam artikel ini, silahkan tinggalkan komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: