BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Asas Pembuktian Terbalik

Asas Pembuktian Terbalik
Sejak tahun 1971, pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik telah menjadi polemik di negara ini sebagaimana Almarhum Oemar Senoadji yang menggunakan istilah pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Adapun kata beban ditekankan bukan pada alat buktinya tapi kepada siapa yang memiliki hak untuk melakukan pembuktian.

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tetap menghargai hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri dari seorang tersangka atau terdakwa. Jadi, amanah dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) ini adalah penekanan dari berlakunya non self incrimination yang merupakan bagian dari perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) (right to remind silence). salah satu karakter pada prinsip-prinsip di negara demokrasi yang mengakui rule of law adalah presumption of innocence. Dalam sistem acara pidana yang berkaitan dengan pembuktian, non self incrimination merupakan karakter dari berlakunya sistem pembuktian yang sering disebut sebagai pembuktian negatif.


Adapun pasal-pasal yang berhubungan dengan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara-negara yang mengakui sistem hukum pidana pada negara-negara anglo saxon dan negara Eropa Kontinental. Kalau kita lihat di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di negara-negara Kontinental atau dari doktrin-doktrin Anglo Saxon khususnya untuk korupsi sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali satu yaitu suap (bribery).

Berjalannya seiring waktu, sistem pembuktian terbalik telah diterapkan di beberapa negara seperti diantaranya Malaysia, Hongkong dan Singapura. Di Malaysia dalam Anti Corruption Act (ACA) pada Pasal 42 menyatakan bahwa semua Gratification kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap kecuali dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa. Adapun maksud dari ketentuan ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya membuktikan 1 (satu) bagian inti delik, yaitu adanya pemberian (gratification, gratikatie) selebihnya dianggap ada dengan sendirinya kecuali dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, yaitu:
  1. Pemberian itu berkaitan dengan Jabatannya (in zijn bediening); dan
  2. Berlawanan dengan kewajibannya (in strijd met zijn pliecth)
Hal ini sama dengan ketentuan Pasal 42 terutama ayat (2) Anti Corruption Act (ACA) Malaysia yang mengatakan unsur selebihnya dalam ketentuan Pasal 161, 162, 163 atau ketentuan Pasal 164 Penal Code (KUHP Malaysia) 
"...... it is proved that such person has accepted or agreed to accept, or obtained or accepted to obtain any gratification, such person shall be presumed to have done so as a motive or reward for the matters set out in the particulars of the offence, unless the contrary is prooved." 
Dari kata-kata...."as a motive or reward for the matters set out in the particulars of the offence...." merupakan bagian inti (bestanddelen) atau unsur yang harus dibuktikan sebaliknya oleh si penerima yang artinya si penerima harus dapat membuktikan bahwa pemberian gratifikasi (gratification, gratikatie) itu bukan motif mengenai hal-hal yang disebut dalam rumusan.

Selanjutnya dalam The Statutes of Prevention Of Corruption Act (1961) juga diatur mengenai Presumption of Corruption in Certain Cases yang bunyinya sebagai berikut: 
"Where in any proceeding against a person for an offence under section 3 or 4 it is proved that any gratification has been paid or given fo or received by a person in the employment of any public body, the gratification shall be deemed to have been paid or given and received corruptly as an inducement or reward as herein before mentioned, unless the contrary is proved."
The Statutes of Prevention Of Corruption (1961) juga mengemukakan bahwa gratifikasi (gratification, gratikatie) yang diterima oleh seseorang atau badan publik karena jabatannya dapat dianggap korupsi sampai dibuktikan sebaliknya. 

Di dalam Prevention of Corruption Act (PCA) di Singapura diatur mengenai sistem pembuktian terbalik, akan tetapi terdapat perbedaan antara Singapura dan Malaysia. Pada Anfi Corruptson Act (ACA) Malaysia mencantumkan sistem pembuktian terbalik pada bagian acara (pembuktian) sedangkan Prevention of Corruption Act Singapura menjadikan sistem pembuktian terbaiik bagian dari rumusan delik yang dimuat dalam ketentuan Pasal 8 Prevention of Corruption Act (PCA) yang berbunyi:
"Where in any proceeding against a person for an offence under section 5 or 6 it is proved that any gratification has been paid or given to or received by a person in the employment of the government or any departement thereof or a public body by or from a person or agent of a person who has or seeks to have any dealing with the goverment or any departement thereof or any public body, that gratification shall be deemed to have been paid or given and received corruptly as an inducement or reward as herein before mentioned unless the contrary is proved."

Dari perkara tindak pidana korupsi (tipikor) di Indonesia, perbuatan suap dikatakan sebagai kejahatan yang sulit pembuktiannya (invisible crime) begitupun juga untuk di negara-negara Anglo Saxon, hal mana perilaku suap yang menjadi kendala di hampir seluruh negara sehingga memunculkan istilah Gratifikasi yang secara etimologis, istilah dari kata gratifikasi itu sendiri berasal dari bahasa Belanda yang berarti gratikatie setelah itu kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi gratification yang kemudian kata tersebut diadopsi di negara Indonesia menjadi gratifikasi.

Usia Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia sudah berusia ratusan tahun sejak dikodifikasi di zaman kolonial belanda dan aturan atau ketentuan yang termuat dalam pasal tentang suap (bribery) itu sendiri seakan-akan "mati suri". Adapun dalam artian mati suri tersebut dimaknakan bahwa ketentuan pasal tersebut tidak bisa dipergunakan atau diterapkan sama sekali dalam menangani tindak pidana tersebut. 

Berbagai carapun telah dilakukan untuk menghidupkan ketentuan pasal tersebut seperti salah satu contoh upaya yang dilakukan dengan dikeluarkannya aturan baru mengenai suap aktif sebagaimana dimuat pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf (d) yang kemudian diubah lagi dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang hingga saat ini masih tetap dipertahankan. Walaupun demikian, ketentuan pasal tersebut tetap masih jadi pasal yang mati suri atau dapat dikatakan ketentuan pasal tersebut tidak dapat dipergunakan.

Kemudian dicoba lagi dengan dikeluarkannya ketentuan yang diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001, hal mana pada ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut memperluas alat bukti petunjuk di ketentuan Pasal 26 A. Hal mana dalam pasal tersebut, pengertian surat diperluas yakni menyangkut yang terkait dengan elektronik sebagai alat bukti petunjuk. Padahal istilah alat bukti petunjuk baik di negara-negara Anglo Saxon maupun di negara-negara lainnya tidak pernah mengenal istilah tersebut dan hanya di negara Indonesia saja alat bukti petunjuk dimasukkan. Adapun sekarang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) alat bukti petunjuk dalam ketentuan pasal tersebut telah dihapuskan.

Ketidakberhasilan lembaga dalam delik baru pada suap aktif yang diatur dalam ketentuan pasal tersendiri sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 yang kemudian dilanjutkan dengan membuat mekanisme pelaporan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 dengan mencantumkan Pasal 12 A dalam rancangan. Adapun rancangan mekanisme pelaporan tersebut kemudian disahkan menjadi Pasal 12 (b) mengenai gratifikasi (gratification). Oleh karena itu, menurut pendapat beberapa para pakar dan ahli hukum yang menyatakan pendapatnya bahwa jika pembalikan beban pembuktian ingin diterapkan (menyangkut teknis hukum pidana), maka delik inti yang bisa dipidana jangan dicantumkan dalam rumusan delik.

Selanjutnya para pakar dan ahli hukum menyatakan bahwa jikalau dilihat pada ketentuan yang disebutkan pada Pasal 12 b terhadap kata-kata yang memiliki kaitan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itu sama sekali tidak boleh dicantumkan. Hal ini dikarenakan untuk menekankan apa yang dinamakan pembuktian terbalik dari pelaku tindak pidana korupsi (terdakwa), sehingga yang dikehendaki dalam pembuktian terbalik itu jauh lebih baik jika dilakukan di dalam peradilan. 


Hal ini dikarenakan banyaknya kesulitan yang dihadapi untuk membuktikan secara terbalik oleh pelaku tindak pidana korupsi (tersangka) di dalam proses penyidikan di Kepolisian dan proses penuntutan di Kejaksaan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghindari resiko terjadinya perbuatan kolusi. Adapun jika diartikan secara luas mengenai hal tersebut bahwa pembebanan pembuktian terbalik sebaiknya dilakukan di dalam peradilan untuk menghindari kemungkinan adanya perilaku kolusi pada proses penyidikan di Kepolisian dan penuntutan di Kejaksaan.

Akan tetapi yang terpenting dan perlu diketahui bahwa maksud dan tujuan dari pembalikan beban pembuktian di peradilan adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi (gratification, gratikatie) yang memang menjadi suatu kewajiban dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk dibuktikan. Akan tetapi, untuk rumusan yang berhubungan dengan jabatan dan yang bertentangan dengan kewajiban itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh pelaku tindak pidana korupsi (terdakwa) mengenai perolehan harta benda miliknya yang kemudian rumusan tersebut tidak boleh dirumuskan ke dalam rumusan delik.

Di dalam sistem Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bahwa hanya ada 1 (satu) delik yang dinamakan dalam pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik hanya dikenal dan diketahui, yakni masalah suap (bribery). Adapun delik suap yang dimaksud kemudian dikenal dalam undang-undang dengan istilah gratifikasi (gratification, gratikatie). Sehingga di dalam ketentuan yang diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang termuat pada ketentuan Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, pembalikan beban pembuktian bukan untuk semua delik akan tetapi hanya berlaku pada ketentuan Pasal 12 ayat (b) dan ketentuan Pasal 38 ayat (b) yakni pasal yang berkaitan dengan delik suap (bribery).

Pembalikan beban pembuktian hanya berlaku terhadap perampasan harta benda kekayaan yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana korupsi (terdakwa) yang dikenakan tuduhan akan adanya gratifikasi (gratification, gratikatie) dan kemudian diputus berdasarkan ketentuan yang diatur pada ketentuan Pasal 2 dan ketentuan Pasal 3, hal mana yang bersangkutan memiliki hak di pengadilan untuk membuktikan sebaliknya bahwa harta benda miliknya tersebut diperoleh bukan dari hasil gratifikasi (gratification, gratikatie) atau hasil dari tindak pidana korupsi (tipikor).

Agar sistem pembuktian terbalik dapat tercapai secara efektif dalam rangka memberantas Tindak Pidana Korupsi maka diperlukan adanya beberapa prinsip umum peradilan yang harus dijadikan jiwa dan dasar acuan dalam pelaksanaannya, yaitu:
  1. Independensi dan Tidak Memihak (Imparsial);
  2. Kompeten;
  3. Akuntabilitas;
  4. Partisipatif;
  5. Transparansi;
  6. Kepastian Hukum;
  7. Waktu yang Memadai untuk Pembelaan;
  8. Jaminan dari Upaya yang Bertentangan dengan Hukum;
  9. Mudah Diakses dan Cepat; dan
  10. Hak untuk Banding.

Independensi dan Tidak Memihak (Imparsial)
Prinsip independensi dan tidak memihak merupakan salah satu prinsip utama yang dikenal berbagai ketentuan Hukum Internasional. Prinsip ini menghendaki lembaga peradilan yang terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, rekan kerja atau atasan serta pihak-pihak lain di luar pengadilan sehingga mempengaruhi keputusan hakim. Sedangkan prinsip tidak memihak pada intinya menghendaki bahwa Hakim dalam mengambil keputusan bersifat tidak membeda-bedakan dan menghargai secara adil dan seimbang hak-hak para pihak serta bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan bias.

Kompeten
Prinsip kompeten adalah prinsip yang menjamin bahwa Hakim yang memiliki kemampuan (kompeten) yang dapat menjadi Hakim Pengadilan Korupsi sehingga putusan yang diambil adalah putusan yang berkualitas.

Akuntabilitas
Prinsip ini menghendaki setiap pelaksanaan kekuasaan, apakah itu dalam penentuan kebijakan, pengambilan keputusan dan sebagainya harus dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Partisipatif
Partisipasi masyarakat merupakan hal yang esensial dalam negara demokratis. Partisipasi paling tidak dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
  1. Partisipasi dalam membentuk keputusan agar keputusannya lebih berkualitas dan aspiratif; dan
  2. Partisipasi dalam melakukan kontrol untuk meminimalisir penyalahgunaan kekuasaan.
Transparansi
Transparansi atau keterbukaan menjadi penting untuk meminimalisir penyalahgunaan kekuasaan termasuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Di samping dari pada itu, agar prinsip akuntabilitas dan partisipatif dapat berjalan efektif maka diperlukan adanya transparansi dalam keseluruhan proses peradilan selama tidak merugikan atau menganggu upaya penegakan hukum.

Kepastian Hukum
Untuk menjamin keadilan karena menempatkan suatu pihak dalam posisi tidak pasti tentunya merupakan bentuk ketidakadilan tersendiri.

Waktu yang Memadai untuk Pembelaan
Hak atas waktu dan fasilitas yang memadai untuk menyiapkan satu pembelaan adalah hak yang penting untuk menjamin persidangan yang adil (fair trial). Hal ini perlu dijamin pada semua tahapan dari persidangan. Adapun yang termasuk waktu yang memadai akan tergantung atas sifat dari acara persidangan dan keadaan yang sesungguhnya dari kasus tindak pidana korupsi. Fakta yang perlu dipertimbangkan adalah kompleksitas dari suatu kasus korupsi, akses terdakwa atas barang bukti dan lain sebagainya.

Jaminan dari Upaya yang Bertentangan dengan Hukum
Setiap orang memiliki hak untuk dilindungi atas adanya tindakan-tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan yang bertentangan dengan hukum. Hal ini memberikan jaminan bahwa pemasungan kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM) oleh hukum demi kepentingan penegakan hukum tetap harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Prinsip ini penting untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.

Mudah Diakses dan Cepat
Keadilan harus menjadi milik semua orang. Oleh karena itu proses memperoleh keadilan melalui pengadilan harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menghalangi hak setiap orang untuk memperoleh keadilan (access to justice). Adapun prinsip mudah diakses meliputi kemudahan dari aspek finansial seperti biaya yang murah, geografis seperti lokasi pengadilan yang terjangkau, prosedural seperti prosedur beracara yang sederhana dan lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip cepat adalah proses yang harus ditempuh oleh pencari keadilan untuk memperoleh keadilan tidak memakan waktu yang lama.

Hak untuk Banding
Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi jika yang bersangkutan tidak puas dengan putusan pengadilan di suatu tingkat. Prinsip ini biasa dikenal dengan right to apple. Prinsip ini sejalan dengan bentuk akuntabilitas Hakim dalam memutus perkara.

Demikian penjelasan singkat mengenai asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian dalam memahami asas tersebut. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan saran dibutuhkan demi membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima Kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: