BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Viktimologi

Viktimologi
Sebelum membahas tentang Viktimologi maka perlu kiranya memahami korban itu sendiri. Untuk memberikan pengertian tentang korban tidak mudah, seperti dikemukakan Kindren bahwa untuk sampai pada pemberian definisi yang tepat mengenai korban, maka harus memenuhi kriteria benar - benar sebagai korban. Sebab hal ini akan membawa konotasi crime without victim (Kejahatan tanpa korban). Dengan demikian perlu adanya identifikasi serta verifikasi kriteria korban secara jelas. Konsep korban telah terdapat sejak jaman Hebrew kuno. Pengertian aslinya berasal dari ide pengorbanan atau pengkambinghitaman (mengeksekusi atau membuang orang atau binatang guna memuaskan dewa - dewi atau penguasa bumi).

Korban diterjemahkan oleh Barda Nawawi Arief sebagai orang, baik secara individu maupun kolektif yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan - peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu korban termasuk juga orang - orang yang menjadi korban dari perbuatan - perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, akan tetapi sudah merupakan pelanggaran terhadap norma - norma Hak Asasi Manusia (HAM) yang diakui secara internasional.

Selanjutnya dikemukakan bahwa seseorang dapat dipertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah pelaku kejahatan itu sudah diketahui ditahan, dituntut atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara pelaku dan korban. Istilah korban juga dapat mencakup keluarga dekat atau orang - orang yang menjadi tanggungan korban dan juga orang - orang yang menderita tanggungan korban dan juga orang - orang yang menderita kerugian karena berusaha mencegah terjadinya korban.

Korban tidak hanya selalu orang per orang, akan tetapi juga bisa merupakan suatu kelompok, korporasi, badan hukum dan organisasi walaupun dalam kenyatannya yang mengalami dan merusaknya adalah para oknum atau anggota kelompok itu sendiri. Untuk itu pihak yang menderita perlu mendapatkan :
  1. Kompensasi (penyetaraan hak);
  2. Rehabilitasi (pemulihan hak); dan 
  3. Restitusi (pengembalian hak) dari penderitaannya.
Pengertian Viktimologi dan Viktimisasi
Setelah kita memahami arti korban, maka yang selanjutnya yang kita pahami adalah viktimologi sebagaimana menurut pendapat J. E. Sahetapy yang memberikan pengertian viktimologi sebagai ilmu atau disiplin yang membahas permasalahan korban dalam segala aspek.

Sedangkan Arief Gosita menjelaskan bahwa viktimologi merupakan bagian dari kriminologi yang mempunyai objek studi yang sama yaitu kejahatan atau pengorbanan kriminal (viktimasi kirminal) dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengorbanan kriminal tersebut, antara lain sebab dan akibatnya yang dapat merupakan faktor viktimogen atau krimonegen (menimbulkan korban dan kejahatan). Salah satu akibat pengorbanan yang mendapatkan perhatian viktimologi adalah 
  1. Penderitaan;
  2. Kerugian mental;
  3. Kerugian fisik;
  4. Kerugian sosial;
  5. Kerugian ekonomi; dan 
  6. Kerugian moral. 
Kerugian - kerugian tersebut hampir sama sekali dilupakan atau diabaikan oleh kontrol sosial yang melembaga seperti penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) dan pembinaan permasyarakatan. Pada awalnya di tahun 1880 an, viktimologi sekadar studi kejahatan yang mempergunakan perspektif korban. Perhatian terhadap korban kejahatan baru dimulai pada tahun 1937 yang diawali oleh Mendelsohn yang menulis sebuah artikel yang berkaitan dengan korban. Istilah Viktimologi baru muncul pada tahun 1947 setelah diperkenalkan oleh Mendelsohn. Sebelumnya pada tahun 1941, Hans von Henting menulis sebuah artikel tentang korban yang berjudul Remaks on Interaction of Perpretator and Victim.

Apa yang ditulis kedua tokoh tersebut merupakan dasar bagi perkembangan viktimologi. Adapun kata viktimologi berasal dari bahasa latin, victim yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. jadi viktimologi merupakan suatu bidang yang mempelajari permasalahan korban serta segala aspeknya. Adapun pengertian viktimologi mengalami 3 (tiga) fase perkembangan, yaitu :
  1. Fase Pertama
    Pada awalnya viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja sehingga pada fase ini dikatakan sebagai penal or special victimology.
  2. Fase Kedua
    Fase ini telah mencakup korban kecelakaan yang kemudian pada fase ini disebut sebagai general victimology.
  3. Fase Ketiga
    Pada fase ini, viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban penyalahgunaan kekuasaan dan hak - hak asasi manusia yang kemudian dikenal pada fase ini sebagai new victimology.
Arief Gosita mengartikan viktimologi sebagai suatu studi atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari suatu viktimisasi sebagai permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Suatu viktimisasi antara lain dapat dirumuskan sebagai suatu penimbun penderitaan (mental, fisik, sosial, ekonomi, dan moral) pada pihak tertentu dan dari kepentingan tertentu. 

Adapun pihak - pihak yang dimaksud dalam hal ini ialah siapa saja yang terlibat dalam eksistensi suatu viktimisasi baik individu maupun kelompok. Dalam memahami dan mengerti suatu viktimisasi, fokus perhatian dan terjadinya viktimisasi tidak boleh hanya diarahkan kepada pihak korban saja (korban sentris) sebab pihak - pihak lain yang terlihat eksistensi suatu viktimisasi dapat pula menjadi korban. Misalnya seperti pihak pelaku, polisi, hakim, dan saksi dapat menjadi korban ketidakpuasaan dan balas dendam pihak korban.

J. E. Sahetapy mengartikan viktimisasi sebagai penderitaan baik fisik maupun psikis atau mental berkaitan dengan perbuatan pihak lain. Perbuatan yang dilakukan oleh orang per orang, suatu kelompok tertentu, suatu komunitas tertentu, bahkan juga pihak pemerintah sehingga korban bukan saja perorangan melainkan sekelompok orang atau komunitas tertentu atau sebagian rakyat yang menderita, bukan saja secara fisik melainkan inklusif dalam arti finansial, ekonomi, sosial, agama dan dalam arti psikis secara luas. Lebih lanjut, J. E. Sahetapy berpendapat bahwa dengan demikian maka paradigma viktimisasi meliputi :
  1. Viktimisasi Politik, yakni dapat dimasukkan aspek penyalahgunaan kekuasaan, perkosaan Hak Asasi Manusia (HAM), campur tangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di luar fungsinya, terorisme, intervensi dan peperangan lokal atau dalam skala internasional;
  2. Viktimasi Ekonomi, yakni yang terjadi karena ada kolusi antara pemerintah dan konglomerat, produksi barang - barang tidak bermutu atau yang merusak kesehatan termasuk aspek lingkungan;
  3. Viktimisasi Keluarga, yakni seperti perkosaan, penyiksaan terhadap anak dan istri dan menelantarkan kaum manusia lanjut atau orang tuanya sendiri;
  4. Viktimisasi Media, yakni dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan obat bius, alkoholisme, malpraktek di bidang kedokteran dan lain - lain;
  5. Viktimisasi Yuridis, yakni dimensi ini cukup luas baik yang menyangkut aspek peradilan dan Lembaga Pemasyarakatan maupun yang menyangkut dimensi diskriminisasi perundang - undangan, termasuk menerapkan hukum kekuasaan dan stigmatisasi kendati itu sudah diselesaikan aspek peradilannya.
Tinjauan Kejahatan Secara Viktimologi
Kejahatan bila dipandang dari kacamata viktimologi maka unsur - unsurnya tidak hanya meliputi pengertian unsur kejahatan secara yuridis, sosiologis dan kriminologis tetapi lebih luas lagi yakni meliputi korban dan segala aspeknya.

Menurut Wolfgang melalui penelitiannya menemukan bahwa korban turut serta atau berperan dalam terjadinya suatu kejahatan. Banyak pembunuhan yang dikontribusikan oleh korban sebenarnya disebabkan oleh keinginan tak sadar dari sang korban sendiri untuk bunuh diri atau setidak - tidaknya mencelakakan diri sendiri. Sedangkan Stephan Schafer memandang viktimologi pada bagaimana korban secara disadari atau tidak menyumbang pada viktimisasi yang dideritanya, bahkan juga pembagian tanggung jawab dengan pelaku (dalam kasus - kasus tertentu).

Pengkajian kejahatan dari sudut pandang viktimologi sebagai gejala sosial jelas memerlukan penentuan tipologi sesuai dengan konteks sosial penjahat dan perbuatannya. Adapun Stephan Schafer, mengemukakan beberapa tipologi korban sebagaimana berikut di bawah ini :
  1. Unrelated Victims
    Mereka yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan penjahat, kecuali jika si penjahat telah melakukan kejahatan terhadapnya. Menurutnya semua anggota masyarakat potensial dapat menjadi korban. Hal ini berarti tak seorang pun terlindungi untuk menjadi korban tanpa memperhatikan apakah sebelumnya korban mempunyai hubungan dengan pelaku. Dalam hal ini tanggung jawab penuh terletak di pihak penjahat.
  2. Provocative Victims
    Siapa saja yang melakukan sesuatu pelanggaran konsekuensinya menjadi perangsang atau pendorong untuk menjadi korban. Dalam hal ini korban merupakan pelaku utama, misalnya mempunyai affair dengan orang lain. Dengan demikian pertanggungjawaban terletak pada pihak korban dan pelaku.
  3. Participating Victims
    Mereka yang secara khusus tidak berbuat sesuatu terhadap penjahat, akan tetapi tidak terpikirkan bahwa tingkah lakunya mendorong untuk pelaku untuk berbuat jahat terhadap dirinya seperti contohnya berjalan sendiri di tempat gelap dan sepi yang merangsang penjahat untuk merampok dan memperkosa. Adapun pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
  4. Biologically Weak Victims
    Mereka yang mempunyai bentuk fisik atau mental tertentu yang menyebabkan orang melakukan kejahatan terhadapnya misalnya seperti anak kecil, lansia, orang cacat, orang sakit mental atau gila. Dalam hal ini pertanggungjawaban ada pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak melindungi korban yang tidak berdaya.
  5. Socially Weak Victims
    Orang - orang yang tidak diperhatikan oleh masyarakat luas sebagai anggota dalam masyarakat tersebut misalnya seperti para imigran, penganut agama tertentu, minoritas etnis dan lainnya yang mempunyai kedudukan sosial yang lemah. Dalam kondisi seperti ini pertanggungjawaban secara penuh terletak penjahat atau masyarakat.
  6. Self Victimizing Victims
    Mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukan sendiri. Beberapa buku menyatakan ini sebagai kejahatan tanpa korban, akan tetapi pandangan ini menjadi dasar pemikiran bahwa tidak ada kejahatan tanpa korban yaitu penjahat dan korban. Contohnya seperti pecandu obat bius, alkoholisme, homoseks dan judi. Hal ini pertanggungjawaban terletak penuh pada pelaku yang juga sekaligus merupakan korban.
  7. Political Victims
    Mereka yang menderita karena lawan politiknya. Korban ini secara sosiologis tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Selain tipilogi di atas, tipilogi dikemukakan juga oleh Sellin dan Wolfgang sebagaimana berikut di bawah ini  :
  1. Primary Victimization, yakni korban individual, jadi korbannya adalah orang perorang (bukan kelompok);
  2. Secondary Victimization, yakni korban adalah kelompok, misalnya badan hukum;
  3. Tertiaty Victimization, yakni yang menjadi korban adalah masyarakat luas.
  4. Mutual Victimization, yakni yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri misalnya seperti pelacuran, perzinahan, dan narkotika.
  5. No Victimization, yakni bukan berarti tidak ada korban melainkan korban tidak segera dapat diketahui misalnya seperti konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.
Teori - Teori Viktimologi Kontemporer
  1. Situated Transaction Model (Luckenbill, 1977)
    Dalam hubungan interpersonal, kejahatan dan viktimisasi pada dasarnya adalah kontes karakter yang tereskalasi yang mulanya adalah konflik mulut yang meningkat menjadi konflik fisik yang vatal.
  2. Threefold Model (Benjamin & Master)
    Kondisi yang mendukung kejahatan terbagi 3 (tiga) kategori, yaitu : 
    • Precipitating factors;
    • Attracting factors;
    • Predisposing / socio demographic factors.
  3. Routine Activities Theory (Cohen & Felson, 1979)
    Kejahatan dapat terjadi ketika terdapat 3 (tiga) kondisi sekaligus, yakni : 
    • Target yang tepat;
    • Pelaku yang termovitasi; dan 
    • Ketiadaan pengamanan.
Melihat bahwa viktimisasi yang terjadi akibat adanya struktur yang tidak adil, timpang dan represif. pemerintah dan aparat - aparatnya juga dapat menciptakan aneka viktimisasi (baik fisik ataupun non fisik) terhadap rakyatnya. Adapun struktur viktimasi (viktimasi Sturuktural), adalah sebagai berikut :
  1. Politically structural victimization : status tapol;
  2. Socially structural victimization : bayar pajak, tarif tol;
  3. Legally structural victimization : hukuman mati, aborsi;
  4. Economically structural victimization : pelarangan pasar;
  5. Victimization caused by power abuse : election fraud.
Demikian penjelasan singkat mengenai Viktimologi yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: